Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film animasi fantasi keluarga arahan Kirk DeMicco yang pernah menggarap film animasi sukses The Croods. Film animasi ini diisi suara oleh pemain-pemain bintang, seperti Lana Condor, Toni Collette, Annie Murphy, Colman Domingo, dan Jane Fonda. Film produksi Studio Dreamworks Animation ini seperti kita ketahui telah memproduksi film-film animasi berkualitas tinggi, sebut saja Shrek, How to Train a Dragon, Kung-Fu Panda hingga Trolls. Apakah film berkisah orisinal ini mampu bersaing dengan film-film franchise raksasa di atas?

Ruby Gillman (Condor) adalah remaja putri yang bersama keluarganya telah tinggal di dunia daratan selama belasan tahun. Keluarga Ruby sebenarnya adalah keturunan monster raksasa Kraken yang kini beralih ke kehidupan baru bersama manusia. Kehidupan mereka yang tentram akhirnya terusik ketika Ruby harus menceburkan dirinya ke laut untuk menolong rekan sekolahnya. Ruby pun berubah menjadi monster raksasa walau setelahnya bisa ditenangkan sang ibu (Collete) hingga kembali ke bentuk aslinya. Namun, tanpa sepengetahuan ibunya, ia justru menikmati identitas barunya dengan dilatih oleh sang nenek (Fonda), ratu Kraken, serta bersahabat dengan Chelsea (Murphy), seorang putri duyung yang juga rekan sekolahnya.

Wow, plotnya benar-benar mengingatkan pada Turning Red. Kisah Mei, gadis remaja yang bisa berubah wujud menjadi monster panda merah jika emosinya meluap. Baik Ruby dan Turning Red memiliki konflik yang sama, yakni antara ibu dan putrinya. Walau detil kisahnya berbeda, namun poin kisahnya tetaplah sama. Penonton perempuan, terlebih remaja, jelas memiliki kesadaran lebih dalam memahami kisah filmnya. Keduanya bicara soal seorang ibu yang membatasi dan mengekang kebebasan putrinya, di mana akhirnya, keduanya bisa saling memahami dan mendewasakan satu sama lain. Ending-nya pun sama-sama menyentuh, hanya saja menonton Ruby terasa seperti pengulangan Turning Red.

Ruby Gillman, Teenage Kraken memiliki kisah dan visual yang menghibur, namun alur plotnya telah didahului oleh film animasi studio besar lainnya yang jauh lebih superior. Secara visual, pencapaian Ruby Gillman jauh dari buruk terlebih dengan pesona alam bawah lautnya. Selipan komedinya pun, jauh lebih menghibur dari Elemental yang rilis baru lalu. Konsep kisah Ruby Gillman mengambil dari mitologi Yunani sementara Turning Red mengambil dari tradisi Tiongkok. Namun sebagai tontonan keluarga, keduanya sama-sama adalah tontonan yang menghibur dan sarat nilai keluarga. Hanya saja, Turning Red lebih memiliki kedalaman dan makna yang mengusung tradisi dan filosofi budaya asalnya.

Baca Juga  Green Zone

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaGanjil Genap
Artikel BerikutnyaNimona
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.