Silo adalah seri pasca-bencana fiksi ilmiah yang merupakan kreasi Graham Yost. Seri ini diadaptasi dari seri novel populer Wool karya Hugh Howey. Film musim pertama yang bertotal 10 episode ini berdurasi rata-rata 50 menit yang dirilis oleh Apple TV+ sejak 5 Mei lalu. Seri ini dibintangi sejumlah nama-nama besar, yakni Rebecca Ferguson, Rashida Jones, David Oyelowo, Common, Tim Robbins, Harriet Walter, Avi Nash, Rick Gomez, Ferdinand Kingsley, dan Chinaza Uche. Seberapa unikkah kisah seri ini? Untuk bisa meringkas seri bertotal 10 episode memang bukan perkara mudah.

Dikisahkan ratusan tahun mendatang permukaan bumi sudah tak lagi layak huni dan dibangun sebuah bunker maha raksasa ratusan tingkat yang dinamakan Silo. Ribuan penghuni silo sudah tak lagi mengenal asal usul mereka sebelumnya. Mereka tak tahu siapa yang membuat silo, lalu mengapa dan sampai kapan harus berada di sana? Satu-satunya jendela untuk melihat dunia luar adalah layar raksasa di kafetaria yang terdapat di lantai teratas. Itu pun hanya memperlihatkan bukit yang gersang tanpa terlihat adanya kehidupan.

Sistem kekuasaan tertinggi dalam silo dinamakan yudisial. Pihak yudisial inilah yang mengatur segalanya. Di bawah yudisial terdapat seorang walikota yang memimpin warga silo. Walikota juga didampingi seorang penegak hukum (sheriff) bersama para deputinya untuk menjaga ketertiban. Pihak yudisial ada di bagian paling atas sementara semakin ke bawah dianggap sebagai “kasta” rendah, yakni bagian mekanik. Ratusan tahun silo bekerja dengan baik dan secara mandiri memiliki pengolahan makanan, air, udara bersih, hingga fasilitas kesehatan.

Pihak yudisial yang memiliki aturan ketat serta hukuman “cleaning”, bagi para pelanggar beratnya. Cleaning bermakna pembersihan layar sensor kamera yang berada di luar silo. Ini bermakna kematian karena zat beracun yang ada permukaan. Hukuman ini sekaligus memberi peringatan bagi warga bahwa di luar sana situasi berbahaya. Yudisial berusaha menutupi, menyita, dan menghancurkan semua bukti peninggalan masa lalu yang ada. Semua benda tersebut diistilahkan “relics” dan bagi yang menyimpan akan dihukum berat. Masalah mulai muncul ketika terdapat pihak menemukan bukti konkrit bahwa di luar sana, situasi tidaklah seperti yang mereka pikir.

Seorang mekanik bernama George Wilkins (Kingsley) memiliki sebuah relik yang ia anggap menyajikan kebenaran tentang silo. Ia pun menunjukkan sebuah fakta besar pada Allison (Jones), istri sheriff Holston (Oleyowo). Allison mendadak mengajukan diri untuk melakukan “cleaning” yang aksinya ini tidak dipahami oleh Holston. Sepeninggal Allison, Holston pun mencoba mencari tahu kebenaran dan ia justru menemukan Wilkins tewas tak wajar. Holston pun bertemu sosok mekanik tangguh, Julliete Nichols (Ferguson) yang membawanya pada sebuah relik penting. Holston di luar dugaan, mengajukan diri untuk “cleaning” dan ia menemukan fakta bahwa dunia luar ternyata berudara bersih dan hijau, sebelum ia akhirnya tewas. Sebelum meninggal, Holston menyerahkan jabatannya pada Nichols yang ia anggap mampu meneruskan investigasinya. Petualangan investigasi Nichols pun bermula dari sini.

Baca Juga  Man vs. Bee

Ringkasan plot di atas hanyalah berkisar tiga episode saja, sebelum plotnya sesungguhnya berjalan dengan Nichols sebagai protagonis utama. Nuansa misteri dan rasa penasaran benar-benar mengusik penonton pada tiga episode ini. Seribu pertanyaan pasti ada di benak kita dan plotnya secara cerdik mengarahkan kita ke satu fakta besar bahwa warga silo telah dimanipulasi agar mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Mengapa harus ditutupi, bukankah warga sepatutnya tahu jika pada permukaan atas sana kini sudah layak huni? Mindset ini pula yang dijejali pada kita, para penonton. Alhasil ini membuat empat episode berikutnya bak investigasi tak penting yang seolah hanya mengulur waktu. Nichols melalui investigasi bertempo lambat menemui bukti dan fakta demi fakta lebih dalam yang justru makin membahayakan orang-orang di sekitarnya. Satu persatu tokoh penting tewas tak wajar yang membuat posisi Nichols semakin terpojok.

Tiga episode akhir adalah yang tebaik, bak aksi thriller yang amat menegangkan. Nichols yang kini memiliki bukti kuat menjadi buron pihak yudisial. Seluruh potensi setting-nya yang unik digunakan secara maksimal. Ia diburu dari lantai per lantai, dari lorong ke lorong, dan dari apartemen ke apartemen. Misi utama Nichols hanya satu, yakni menyiarkan fakta ini kepada warga silo. Hingga akhirnya, segmen klimaks yang teramat mencengangkan. Iya betul, ending-nya menjawab semua pertanyaan, namun sekaligus memberi pertanyaan baru yang kiranya bakal berlanjut pada musim berikutnya. Rasanya ini adalah salah satu ending “cliffhanger” terbaik sepanjang sejarah sci-fi.

Naskahnya yang solid dengan dialog-dialog cerdas dan penuh misteri dibantu oleh penampilan kuat para kastingnya. Rebecca Ferguson yang kita tahu berperan tegas dan dingin dalam dua seri terakhir Mission Impossible, kini mampu bermain brilian dengan percaya diri sekaligus insecure dalam semua episodenya. Dua aktor kulit hitam, Common dan Uche bermain lugas sebagai pihak yudisial dan deputi sheriff yang menjunjung tinggi aturan-aturan di Silo. Lalu aktor kawakan, Tim Robbins mampu memberi nyawa pada sosok walikota msiterius dengan agenda terselubungnya. Demikian pula dengan aktor-aktris senior, David Oyelowo, Will Patton, Iain Glen, dan Rashida Jones yang tampil memikat walau tampil hanya dalam beberapa episode.    

Silo adalah eksplorasi segar subgenrenya (pasca-bencana) dengan menyajikan kisah unik, melalui sisi misteri, investigasi, dan aksi thriller dengan dukungan kuat para kastingnya serta setting yang memukau. Silo adalah sebuah pencapaian langka yang setara dengan sci-fi pasca bencana film-film rilisan bioskop. Setting adalah satu elemen estetik terkuat sebagai pembentuk utama kisah filmnya. Jelas tak mudah untuk membangun dan memvisualisasikan setting interior raksasa dengan sedemikan megah dan meyakinkan. Kisah seri musim pertama ini hanya sebagian dari seri novel yang memiliki empat segmen besar. Episode pertama tercatat hanyalah 2/3 dari kisah segmen pertama novelnya. Setidaknya masih ada dua atau tiga episode lagi ke depannya untuk menuntaskan seluruh kisahnya. Saya menantinya dengan sangat antusias.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
90 %
Artikel SebelumnyaNimona
Artikel BerikutnyaKejar Mimpi Gaspol!
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.