Pain Hustlers adalah film drama farmasi yang diarahkan oleh David Yates yang kita kenal menggarap beberapa seri Harry Potter dan Fantastic Beast. Hustlers dibintangi beberapa aktor-aktris ternama, yakni Emily Blunt, Chris Evans, Andy Garcia, Catherine O’Hara, hingga Brian d’Arcy James. Bermodal sentuhan emas sang sineas dan bintang-bintang besarnya, apakah film rilisan Netflix ini mampu menawarkan sesuatu yang berbeda untuk temanya?

Liza Drake (Blunt) adalah seorang ibu muda yang bekerja apa pun untuk uang dan membesarkan putrinya. Suatu kali, dibantu oleh Pete (Evans), Liza mendapat kesempatan bekerja di sebuah perusahaan farmasi (produsen obat penahan rasa nyeri penyakit kanker) yang di ambang kebangkrutan. Dengan kemampuan persuasifnya, ia pun mampu menjual obat tersebut di satu klinik berpengaruh. Perusahaan pun terangkat dan menjadi besar dengan cara-cara yang terhitung ilegal. Karir Liza naik dan kehidupannya pun berubah drastis. Walau ketamakan pun akhirnya berbuah konsekuensi.

Kisah tema kebobrokan dunia kesehatan bukan kali pertama diangkat, seperti I Care a Lot hingga Body Brokers yang beberapa tahun lalu rilis. Pain Hustlers lebih terfokus pada sisi penjualan produknya, tanpa harus bersinggungan dengan istilah-istilah medik yang asing di telinga. Prosesnya pun cukup menarik untuk dinikmati. Plot karir sukses macam ini telah jamak dalam film dan Hustlers tidak banyak menawarkan sesuatu yang membekas. Ketamakan membuatnya menjadi mudah diantisipasi arah plotnya. Penebusan dosa adalah solusi terbaik bagi kisah dan karakternya, namun tetap saja ending twist edan dalam I Care a Lot sulit dicari lawan.

Bukan kali pertama dan yang terbaik mengusung tema dan pesan senada, namun Pain Hustlers sedikit terangkat oleh penampilan para bintangnya. Olah aktingnya jelas bukan kaliber Oscar, namun cukup untuk memberi ruang dalam mendukung naskahnya. Sang sineas yang piawai dalam sisi editing, sentuhannya tampak dalam beberapa segmen montage yang dinamis. Tak lebih. Pain Hustlers bisa jadi bakal membuka mata penonton tentang realita dunia farmasi yang mengejutkan, namun, bukanlah yang terbaik. Dua film tersebut di atas atau film dokumenter Sicko (Michael Moore) bisa menjadi rujukan, jika kalian tertarik dalam tema ini dan ingin sesuatu yang lebih.

Baca Juga  The Mechanic

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaSaranjana: Kota Ghaib
Artikel BerikutnyaQodrat Meriahkan Panggung Malam Puncak dengan Raih Piala Gunungan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.