Kisah kesaksian seseorang ihwal pengalamannya pernah mengalami fenomena supernatural telah kerap kali diangkat menjadi beragam film horor hingga kini. Tak terkecuali tentang kemunculan kota gaib bernama Saranjana di sebuah daerah di Kalimantan. Melalui arahan Johansyah Jumberan dan Ridho Ivander, penuturan yang kemudian menjadi film horor berjudul Saranjana: Kota Ghaib, ditulis keroyokan oleh Johansyah dan Ridho Ivander sendiri bersama Audi Harahap, Aditya Mulya, Irfan Maulana, serta Syafril Agung. Melalui produksi Darihati Films, para pemerannya antara lain Adinda Azani, Betari Ayu, Irzan Faiq, Ajeng Fauziah, Gusti Gina, Mourys Sam, dan Luthfi Aulia. Dengan pengerjaan skenario oleh penulis sebanyak itu, apakah naratifnya baik-baik saja?
Sitha (Azani) dan ketiga rekan dalam grup band-nya, Dion (Faiq), Vey (Fauziah), dan Rendy (Luthfi), baru saja mengadakan konser di Kalimantan. Namun, sejak dalam perjalanan hingga sampai di penginapan, Sitha dan Rendy terus mempertengkarkan ihwal pilihan musik dan lagu yang mereka mainkan. Bahkan manajer mereka, Fitri (Ayu), tak sanggup melerai. Sitha pun rupanya bermasalah dengan keluarganya. Sampai pada malam itu juga, ia mengalami kejadian gaib yang mengarahkannya menuju sebuah kota mistis terkenal di Kalimantan yang bernama Saranjana.
Sejak awal, Saranjana telah cacat naratif dengan rumpangnya alasan pemilihan seseorang untuk bisa memasuki Kota Gaib. Memangnya apa keistimewaan spesifik Sitha ataupun orang-orang lainnya, sehingga dapat menjadi orang terpilih itu? Motifnya kurang untuk digunakan sebagai alasan Sitha menjadi sasaran. Bahkan ia bukan penduduk asli setempat, seseorang yang mengacaukan lingkungan sekitar, atau terang-terangan menginginkan hidup di tempat baru. Ia hanya baru saja bertengkar, itu pun memperdebatkan masalah klise. Olah peran para pemainnya memang rerata, tetapi persoalannya ada pada pengadeganan, pemilihan dialog, serta pembuatan dimensi karakter para tokohnya. Mudah sekali untuk tidak menyukai atau berantipati nyaris ke seluruh tokoh dalam Saranjana, kecuali Anwar (Sam). Setidaknya mendingan. Perkara motif tadilah lubang pertama dalam Saranjana yang berkelanjutan memerosokkan kenyamanan menonton film horor ini hingga usai.
Banyak pula motif lain yang dipaksakan hanya untuk mengarahkan pada adegan-adegan teror hingga kematian. Apa urgensi salah seorang tokoh sampai harus mencuri “kunci” keramat? Toh tujuan mereka semua sama, yakni untuk memasuki gerbang ke kota seberang. Kecuali, misalnya, sang tokoh ternyata menjalin semacam kontrak dengan sosok dari alam seberang. Belum lagi ihwal batasan tujuh hari untuk menyelamatkan seseorang yang tak konsisten. Ketika kunci yang sama hendak dipakai untuk mengeluarkan orang lain yang sudah “menyeberang” atau hilang bahkan lebih dari tujuh tahun. Bukankah sudah telat? Sebagaimana statement dari seorang paranormal. Kasus pematahan pernyataan atau inkonsistensi yang juga pernah dilakukan pula, belum lama ini, oleh Hao dalam Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul.
Masih banyak cacat naratif dalam Saranjana, tetapi mari melangkah ke sinematiknya sekarang. Lebih dari setengah film diisi lagu-lagu yang justru mengurangi nuansa horor. Memang bersinggungan atau bahkan menunjukkan lokalitas Kalimantan. Namun, bila tak berfungsi untuk mendukung kebutuhan cerita, misalnya memengaruhi para tokoh, buat apa? Jangankan mendukung nuansa horor bahkan terngiang-ngiang hingga film usai. Sekadar lagu untuk mengisi latar dan menunjukkan unsur Kalimantan, tetapi lupa bahwa Saranjana bukanlah horor komedi, horor romance, horor dan drama keluarga, ataupun horor dengan musikal.
Pun demikian untuk visualisasi kecanggihan teknologi yang ala kadarnya. Sekadar dua hingga tiga kali menampilkan keberadaan CCTV di salah satu jalan yang tengah dilewati para tokoh, terlalu biasa. Bahkan tak ada pergerakan sedikit pun dari alat-alat itu. Tanggung, bila Saranjana hendak menunjukkan betapa futuristik dan sangat maju, peradaban dalam Kota Gaib tersebut. Efek visual dan editing-nya juga bukanlah pengerjaan yang spesial. Begitu pula opening-nya yang kelewat panjang, dengan shot-shot kurang variatif. Jika fungsinya untuk menampilkan tim produksi, buat saja sebagai opening credit scene sekalian dengan menunjukkan cerita-cerita atau kasus-kasus seputar Saranjana.
Saranjana: Kota Ghaib hanyalah horor dengan futuristik tanggung yang telah cacat naratif sejak awal cerita. Peran mandau saktinya pun tak lebih dari benda penarik bala, alih-alih kunci untuk menemukan siapa pun yang tengah dicari oleh si pemegang mandau. Eksekusi horornya juga monoton. Pocong lagi pocong lagi. Tidakkah di Kalimantan terdapat sosok-sosok mistis, hantu, atau setan lokalnya sendiri? Lalu bisa ada pocong sebanyak itu, datang dari mana mereka? Wajar bila ini adalah film Pamali: Dusun Pocong. Para pocongnya memang adalah mayat-mayat dari dusun tersebut. Jika pun tak demikian, kemunculan mereka hanya sekali. Tidak lantas menunjukkan seolah lokalitas mistis di Kalimantan hanya ada pocong belaka. Terlepas dari persoalan seputar Saranjana. Sia-sia penulisan film ini dilakukan secara keroyokan.