Kapan lagi ada film horor lokal yang terbuat dari puisi, serta digarap oleh Garin Nugroho? Puisi Cinta yang Membunuh dia arahkan dan tulis sendiri berdasarkan buku puisi buatannya dengan judul yang sama. Sudah menemukan masalah dari penggalan informasi ini? Film produksi StarVision Plus ini diperankan oleh Mawar Eva de Jongh, Baskara Mahendra, Raihaanun Soeriaatmadja, Ayu Laksmi, Kelly Tandiono, dan Morgan Oey. Garin adalah sutradara yang jarang berkarya sebagai sutradara. Setidaknya tak serajin lainnya. Jadi seperti apa hasil garapannya kali ini?

“Kata cinta harus diwujudkan agar hidup ada.”

Ranum (Mawar de Jongh) adalah mahasiswa tata busana yang menjanjikan, tetapi kerap terlibat dengan masalah-masalah mengerikan. Pembunuhan sadis. Bahkan setiap kali berada dalam suatu hubungan, dia selalu mendapat tekanan dan paksaan. Kengerian masalahnya pun memuncak, setelah salah seorang dosen bimbingan ujian akhirnya (Kelly Tandiono) menjadi salah satu korban. Ranum yang kian depresif, stres, dan frustasi mencoba mencari ketenangan dengan bantuan Laksmi (Ayu Laksmi), Anna (Raihaanun), dan Hayat (Baskara). Namun, sosok mengerikan yang mendatangkan masalah untuknya masih berkeliaran.

Bicara mengenai alih wahana dari puisi ke medium film bukanlah satu-satunya dilakukan oleh Puisi Cinta yang Membunuh. Kita tahu Gie dan Hujan Bulan Juni pun sudah pernah melakukannya. Meski jarang sekali, bila dibandingkan dengan adaptasi novel bahkan cerpen. Namun boleh jadi Puisi Cinta yang Membunuh adalah satu-satunya yang mengubah sebentuk karya sastra menjadi film horor. Walau pengemasannya dari segi naskah terbilang meragukan. Bagaimana tidak? Sudah penulis bukunya adalah sang sutradara sendiri, penulis skenario filmnya pun dia, bahkan yang mengarahkan filmnya juga dia sendiri. Tentu kita tidak akan lupa, bagaimana rekam jejak deretan film-film lokal yang digarap hanya oleh satu orang.

Sebelum memasuki bahasan visual, naskah Puisi Cinta yang Membunuh menunjukkan “keanehan”-nya. Seperti yang telah diduga pasti muncul dari film-film arahan Garin. Jarang sekali punya cara bertutur sebagaimana lazimnya sineas lokal lainnya. Apalagi Puisi Cinta yang Membunuh adalah adaptasi puisi, yang notabene punya aturan dan kaidah-kaidahnya sendiri daripada cerpen maupun novel. Itulah yang kemudian melahirkan masalah pada skenario filmnya. Bukannya menjadi karya adaptasi, melainkan sekadar filmisasi puisi. Cenderung menjadi alih media, ketimbang alih wahana.

Masalah paling kentara Puisi Cinta yang Membunuh ialah pada tatanan plotnya. Sukar sekali melihat alur kisahnya secara runut, karena plot yang dihadirkan masih terasa kasar dan berlompatan. Seolah tidak benar-benar saling menyatu dengan solid sebagai satu kesatuan cerita yang utuh dan terstruktur. Terutama terpisahnya plot Anna dan Laksmi dari Ranum. Rasanya, Puisi Cinta yang Membunuh tengah menceritakan dua penggal kisah ke dalam dua plot yang nyaris sama besarnya. Malahan, urgensi plot Anna dan Laksmi rasanya hanya berfungsi untuk menjelaskan latar belakang sosok Ranum belaka.

Baca Juga  Night of the Hunted

Satu hal besar paling tidak masuk akal akan kondisi keterkaitan kedua plot ini ada pada salah satu bagian cerita. Ketika Ranum tengah bermasalah dengan sosok yang ternyata ia kenal, Anna dan Laksmi hanya memberikan bantuan lewat panggilan suara. Memangnya ada halangan besar bagi mereka untuk mendatangi Ranum secara langsung? Tidak ada! Padahal jelas-jelas masalah tersebut punya intensitas yang besar. Pun demikian dengan cara Garin dalam memberikan semua penjelasan terkait tumpukan misteri dalam Puisi Cinta yang Membunuh. Semua pembukaan informasi yang dia tutup sejak permulaan cerita terlalu berkumpul di segmen-segmen belakang. Bagian-bagian awal hingga pertengahan hanyalah sajian penuh keanehan dan peristiwa ganjil, tanpa tendensi untuk menyediakan informasi walau hanya sedikit.

Kendati demikian, kemasan visual Puisi Cinta yang Membunuh layak dinikmati. Apalagi sebagai sajian film horor lokal. Jarang bisa melihat sajian sisi sadis genre horor, kecuali dari tangan Kimo Stamboel. Bahkan bila kita tarik ke belakang, seakan sukar dipercaya adegan-adegan sadis berdarah-darah dalam Puisi Cinta yang Membunuh lahir dari arahan Garin. Namun dia bukan hanya menyuguhkan itu semata, tetapi juga isian properti dan cara-cara pengambilan gambarnya. Berapa banyak film horor lokal kita yang terpikirkan untuk memasukkan properti aneh-aneh ke dalam set, demi menunjang cerita horornya. Terlepas dari naskah yang bermasalah tadi, Puisi Cinta yang Membunuh mau tidak mau memang termasuk salah satu film horor dengan sajian tak biasa.

Namun sebetulnya, terdapat satu sajian paling mengejutkan dalam Puisi Cinta yang Membunuh. Yaitu kemunculan Mawar de Jongh dalam berolah peran membawakan karakternya. Siapa sangka dia akan menjadi sosok yang sedemikian depresif, sekaligus pembalas dendam? Lagipula selama ini kita lebih kerap menyaksikan kiprahnya dalam kisah-kisah drama atau cinta-cintaan. Akhirnya dia bisa menunjukkan kembali eksplorasinya dalam berakting setelah permainannya sebagai Ayu dalam Teman Tapi Menikah 2 tiga tahun lalu.

Sebagai sajian film horor, Puisi Cinta yang Membunuh memang menjadi pertimbangan besar, meski bukan dari segi pengerjaan naskahnya. Sayang memang, ketika melihat sineas-sineas kita masih ada saja yang punya kecenderungan menangani sendiri lebih dari satu bagian dalam filmnya. Padahal kapabilitasnya belum tentu mumpuni untuk melakukan itu. Hasilnya? Bukannya memberikan sensasi kengerian, Puisi Cinta yang Membunuh justru menyuguhkan masalah psikologis dan pergaulan bebas anak muda.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaDrishyam 2
Artikel BerikutnyaM3GAN
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.