A Quiet Place Part II (2020)
97 min|Drama, Horror, Sci-Fi|28 May 2021
7.2Rating: 7.2 / 10 from 279,997 usersMetascore: 71
Following the events at home, the Abbott family now face the terrors of the outside world. Forced to venture into the unknown, they realize the creatures that hunt by sound are not the only threats lurking beyond the sand path.

Saya masih ingat betul tahun lalu pada Bulan Maret, ketika A Quiet Place Part II akan rilis minggu depannya, semua jaringan bioskop di tanah air menutup operasinya. Setelahnya, penantian yang sangat lama sebelum bioskop dibuka kembali 8 bulan setelahnya, film ini pun kini dirilis. Beda mood? Rasanya di masa pandemi segalanya berubah mood. Nonton film tidak lagi senyaman dulu. Jelas butuh waktu untuk kembali ke situasi normal atau masa-masa itu bakal menjadi kenangan? Film A Quiet Place Part II sama seperti suasana bioskop yang kini sepi sunyi.

Masih disutradai aktor John Krasinsky, A Quiet Place Part II, sekuelnya ini masih dibintangi istrinya sendiri, Emily Blunt didampingi dua kasting muda lawasnya, Millicent Simmons dan Noah Jupe. Beberapa aktor senior menjadi pendatang baru yakni, Cillian Murphy dan Djimon Hounsou. Film berbujet USD 61 juta ini kelak bakal dirilis oleh platform streaming milik Paramount, Paramount +, 45 hari setelah film ini dirilis. Lalu, apakah film ini bakal memiliki hype yang sama dengan film pertamanya?

Segmen kilas balik menyajikan sekilas bagaimana para monster alien pertama kali masuk dan menghabisi seluruh penduduk kota. Tak dikisahkan secara jelas bagaimana keluarga Abbot bisa lolos dari situasi genting tersebut. Plot utama pun bergerak melanjutkan kisahnya sesaat setelah peristiwa film pertamanya. Sepeninggal sang suami, Evelyn (Blunt) bersama putri dan putranya serta si jabang bayi, memilih untuk meninggalkan rumahnya untuk mencoba mencari pertolongan ke orang-orang yang masih selamat. Di saat genting, mereka pun ditolong oleh Emmet (Murphy) yang juga tinggal satu kota. Regan yang mendapati sinyal radio yang terus berulang berencana untuk menggunakan “senjata pelumpuh alien” yang mereka temukan dan menyiarkannya secara luas sehingga semua orang dapat dengan membunuh monster predator tersebut. Emmet yang dipaksa Evelyn untuk menjemput Regan justru ingin membantu sang gadis untuk menjalankan misinya.

Baca Juga  Pan

Seperti kisah film pertama, seri keduanya ini memiliki plot yang sangat sederhana. Intinya hanyalah bertahan hidup. Kisahnya berjalan sangat lambat dan tentu saja seperti sebelumnya, sepanjang durasi nyaris tanpa dialog. Sunyi senyap, dan sesekali iringan musik menghentak ciri khas komposer Marco Beltrami mendampingi adegan-adegan menegangkannya. Saya tak ada masalah dengan kisahnya, sekalipun saya pikir kisah balik di awal bakal menghantarkan sesuatu yang besar pada kisahnya. Ternyata tidak, dan itu pun hanya merupakan eksposisi dari satu sosok karakter baru yang jika tidak dikilas-balik pun rasanya tidak bakal berdampak. Jalannya plot berlangsung membosankan dan tanpa banyak kejutan, serta mudah sekali diantisipasi baik kisah maupun trik jumpscare-nya. Tanpa sosok karakter Emmet kisahnya jelas mati total. Tak banyak yang ditawarkan karena plot dan adegannya hanya terasa repetitif, setidaknya 2/3 durasi film.

Satu hal yang mengesankan pada film ini adalah gaya penyutradaraan sineas melalui sisi sinematografi dan editing yang mapan. Teknik editing (crosscutting) dalam dua segmen disajikan dengan sangat baik untuk membangun ketegangannya, satu terdapat di segmen klimaks. Terlihat sekali sang sineas semakin matang dalam mengemas adegannya. Hanya saja, seperti sudah disebut di atas tadi, trik jump scare-nya mudah sekali diantisipasi. Kita dengan amat mudah tahu kapan momen monster bakal masuk frame melalui komposisi visual dan pergerakan kameranya. Walau begitu, sisi efek suara memang memegang peranan banyak dalam mendukung banyak adegannya. Satu poin yang membuat film ini unik sejak seri pertamanya.

Di luar gaya penyutradaraan sineas, Plot A Quiet Place Part II dan jump scare terasa repetitif hingga tak banyak lagi kejutan. Seri pertama diproduksi dengan bujet hanya USD 17 juta dan kini berlipat kali, seharusnya mampu menyajikan sesuatu yang lebih dari ini. Banyak hal yang menjadi pertanyaan seri pertamanya masih belum terjawab, satu yang paling menganggu saya adalah soal sumber listrik. Bahkan listrik pun pun ada di pulau seberang. Dari sekuelnya ini, saya mengharap banyak jawaban daripada hanya sekedar bertahan hidup. Dengan premisnya, mestinya film ini mampu mengeksplorasi ruang kisahnya sehingga tidak terjebak dalam film-film thriller sejenis macam seri Alien.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaAffliction
Artikel BerikutnyaYang Tak Tergantikan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.