Saya masih ingat betul tahun lalu pada Bulan Maret, ketika A Quiet Place Part II akan rilis minggu depannya, semua jaringan bioskop di tanah air menutup operasinya. Setelahnya, penantian yang sangat lama sebelum bioskop dibuka kembali 8 bulan setelahnya, film ini pun kini dirilis. Beda mood? Rasanya di masa pandemi segalanya berubah mood. Nonton film tidak lagi senyaman dulu. Jelas butuh waktu untuk kembali ke situasi normal atau masa-masa itu bakal menjadi kenangan? Film A Quiet Place Part II sama seperti suasana bioskop yang kini sepi sunyi.
Masih disutradai aktor John Krasinsky, A Quiet Place Part II, sekuelnya ini masih dibintangi istrinya sendiri, Emily Blunt didampingi dua kasting muda lawasnya, Millicent Simmons dan Noah Jupe. Beberapa aktor senior menjadi pendatang baru yakni, Cillian Murphy dan Djimon Hounsou. Film berbujet USD 61 juta ini kelak bakal dirilis oleh platform streaming milik Paramount, Paramount +, 45 hari setelah film ini dirilis. Lalu, apakah film ini bakal memiliki hype yang sama dengan film pertamanya?
Segmen kilas balik menyajikan sekilas bagaimana para monster alien pertama kali masuk dan menghabisi seluruh penduduk kota. Tak dikisahkan secara jelas bagaimana keluarga Abbot bisa lolos dari situasi genting tersebut. Plot utama pun bergerak melanjutkan kisahnya sesaat setelah peristiwa film pertamanya. Sepeninggal sang suami, Evelyn (Blunt) bersama putri dan putranya serta si jabang bayi, memilih untuk meninggalkan rumahnya untuk mencoba mencari pertolongan ke orang-orang yang masih selamat. Di saat genting, mereka pun ditolong oleh Emmet (Murphy) yang juga tinggal satu kota. Regan yang mendapati sinyal radio yang terus berulang berencana untuk menggunakan “senjata pelumpuh alien” yang mereka temukan dan menyiarkannya secara luas sehingga semua orang dapat dengan membunuh monster predator tersebut. Emmet yang dipaksa Evelyn untuk menjemput Regan justru ingin membantu sang gadis untuk menjalankan misinya.
Seperti kisah film pertama, seri keduanya ini memiliki plot yang sangat sederhana. Intinya hanyalah bertahan hidup. Kisahnya berjalan sangat lambat dan tentu saja seperti sebelumnya, sepanjang durasi nyaris tanpa dialog. Sunyi senyap, dan sesekali iringan musik menghentak ciri khas komposer Marco Beltrami mendampingi adegan-adegan menegangkannya. Saya tak ada masalah dengan kisahnya, sekalipun saya pikir kisah balik di awal bakal menghantarkan sesuatu yang besar pada kisahnya. Ternyata tidak, dan itu pun hanya merupakan eksposisi dari satu sosok karakter baru yang jika tidak dikilas-balik pun rasanya tidak bakal berdampak. Jalannya plot berlangsung membosankan dan tanpa banyak kejutan, serta mudah sekali diantisipasi baik kisah maupun trik jumpscare-nya. Tanpa sosok karakter Emmet kisahnya jelas mati total. Tak banyak yang ditawarkan karena plot dan adegannya hanya terasa repetitif, setidaknya 2/3 durasi film.
Satu hal yang mengesankan pada film ini adalah gaya penyutradaraan sineas melalui sisi sinematografi dan editing yang mapan. Teknik editing (crosscutting) dalam dua segmen disajikan dengan sangat baik untuk membangun ketegangannya, satu terdapat di segmen klimaks. Terlihat sekali sang sineas semakin matang dalam mengemas adegannya. Hanya saja, seperti sudah disebut di atas tadi, trik jump scare-nya mudah sekali diantisipasi. Kita dengan amat mudah tahu kapan momen monster bakal masuk frame melalui komposisi visual dan pergerakan kameranya. Walau begitu, sisi efek suara memang memegang peranan banyak dalam mendukung banyak adegannya. Satu poin yang membuat film ini unik sejak seri pertamanya.
Di luar gaya penyutradaraan sineas, Plot A Quiet Place Part II dan jump scare terasa repetitif hingga tak banyak lagi kejutan. Seri pertama diproduksi dengan bujet hanya USD 17 juta dan kini berlipat kali, seharusnya mampu menyajikan sesuatu yang lebih dari ini. Banyak hal yang menjadi pertanyaan seri pertamanya masih belum terjawab, satu yang paling menganggu saya adalah soal sumber listrik. Bahkan listrik pun pun ada di pulau seberang. Dari sekuelnya ini, saya mengharap banyak jawaban daripada hanya sekedar bertahan hidup. Dengan premisnya, mestinya film ini mampu mengeksplorasi ruang kisahnya sehingga tidak terjebak dalam film-film thriller sejenis macam seri Alien.