Tenet (2020)
150 min|Action, Sci-Fi, Thriller|03 Sep 2020
7.3Rating: 7.3 / 10 from 612,757 usersMetascore: 69
Armed with only the word "Tenet," and fighting for the survival of the entire world, CIA operative, The Protagonist, journeys through a twilight world of international espionage on a global mission that unfolds beyond real time.

Nolan memang suka membuat sensasi. Gaung Tenet sudah ada sejak tahun lalu dengan skala produksi yang demikian luas dan megah. Sang sineas kini kembali memproduksi film ambisius yang konon naskahnya digarap lima tahun lamanya. Film fiksi ilmiah unik ini dibintangi oleh Robert Pattinson, Elizabeth Debicky, Kenneth Branagh, serta John David Washington. Film berbujet US$ 200 juta ini konon merugi akibat pandemi yang berkepanjangan karena menunda rilisnya hingga tiga kali. Dengan bujet sedemikian besar dan kembali menggunakan kamera 70mm, apakah Tenet mampu mengimbangi film-film karya Nolan sebelumnya?

Butuh waktu jika ingin meringkas plot filmnya secara menyeluruh karena memang kisahnya sangat tak lazim dan sulit dicerna. Mudahnya begini, seorang agen CIA dengan nama alias The Protagonist (Washington) mendapati dirinya tergabung dalam sebuah organisasi rahasia bernama Tenet. Tenet memiliki sebuah alat yang mampu memanipulasi waktu, mudahnya, kembali ke masa lalu. Sayangnya alat ini dimiliki pula oleh pihak yang salah, dimotori oleh Sator (Branagh). Sang protagonis bersama koleganya Neil (Pattinson) berusaha untuk mencegah rencana Sator untuk menghapus masa lalu yang berarti pula bencana terhadap umat manusia.

Kita semua tahu, Nolan tidak akan membiarkan kita untuk mengunyah plot filmnya dengan mudah. Baik Inception, Interstellar, bahkan Dunkirk memiliki plot yang bakal mengernyitkan dahi sepanjang film. Kita pasti sering mengumpat dalam hati, “what the heck is going on?”. Setelah Tenet, film-film sebelumnya ternyata bukan apa-apa. Hingga separuh film, saya pun sungguh tidak tahu apa yang terjadi dalam cerita filmnya selain hanya bisa mengikuti karakternya dan mengalir mengikuti alur plotnya. Titik terang mulai muncul setelah masuk paruh kedua kisahnya. Ide kisah besarnya sudah jelas terlihat, gamblang bahkan, namun detil kisahnya rasanya mustahil untuk dijelaskan karena memang banyak hal yang belum terjawab dengan jelas.

Seperti film-film perjalanan waktu kebanyakan, sejak Back to the Future hingga Endgame, misinya adalah untuk mencegah sesuatu yang buruk agar tidak terjadi di masa datang. Semua kisah lazimnya begitu. Tenet pun idenya sama. Hanya saja, konsep visualisasinya saja yang sungguh kelewat EDAN. Medium film belum pernah menyajikan sekuen aksi yang sedemikian luar biasa seperti ini.

Baca Juga  Run Hide Fight

Dikisahkan untuk kembali ke masa lalu berarti seseorang harus melewati momen “mundur” (reverse) di waktu kini hingga mereka berhenti di momen yang diinginkan. Visualisasi waktu mundur inilah yang mampu disajikan dengan begitu mengesankan dalam banyak adegan aksinya, seolah kita memencet tombol reverse di pemutar DVD/TV. Satu adegan perkelahian di lorong bahkan disajikan dalam versi normal dan reverse. Hah bagaimana bisa? Sulit sekali untuk dijelaskan jika tak menontonnya sendiri. Adegan kejar-mengejar mobil seru juga disajikan dengan teknik yang sama. Wow. Satu hal terlontar di pikiran hanyalah, bagaimana mereka membuat ini semua? Visualisasi reverse ini adalah pencapaian terbaik dalam filmnya.

Kembali ke masalah cerita. Dalam film-film time travel selalu ada argumen yang jelas, bagaimana dan mengapa ini bisa dilakukan. Misal saja, dalam Terminator ada mesin waktu yang diciptakan kaum robot agar mampu melakukan perjalanan ke masa lalu dan mengirim robot untuk membunuh Sarah Connor. Dalam Endgame, ada sang jenius Tony Stark yang mampu memecahkan formula konsep waktu hingga mereka bisa membuat alat agar bisa kembali ke masa lalu untuk mendapatkan Infinity Stone. Lalu dalam Tenet siapa yang membuatnya? I don’t know jawab seorang karakter. Mereka lalu meringkasnya dengan istilah Grandfather Paradox. Jika kamu kembali ke masa lalu dan membunuh kakekmu, apakah kamu masih eksis sekarang? Nobody knows. Mungkin paradoks inilah yang diinginkan Nolan. Tetapi ini jelas membuat banyak pertanyaan baru yang muncul. Ya memang, sah sah saja setiap film memiliki aturan mainnya sendiri-sendiri. Semua pertanyaan kembali ke penontonnya. Apakah ini bisa dinalar atau tidak? Sisi ini bisa menjadi kekuatan atau kelemahan filmnya, tergantung dari perspektif mana kita melihat. Dari tiga film terakhir Nolan, bagi saya, Tenet adalah yang terlemah.

Seperti tiga film terakhir Nolan, Tenet adalah sebuah produksi langka yang ambisius dengan visualisasi mengagumkan, namun memiliki alur plot teramat kompleks yang nyaris mustahil diterima penonton awam. Selain James Cameron, Nolan ternyata masih mampu membuktikan bahwa ia masih mampu mengeksplorasi cerita film dan menuturkannya dengan cara yang sangat istimewa dengan skala produksi demikian megah. Nolan kembali mematok standar genrenya demikian tinggi. Setelah ini, kamu mau buat film apa lagi Nolan?

Stay safe and Healthy!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaMank
Artikel BerikutnyaMosul
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.