Wonder Woman 1984 (2020)
151 min|Action, Adventure, Fantasy|25 Dec 2020
5.4Rating: 5.4 / 10 from 286,646 usersMetascore: 60
Diana must contend with a work colleague, and with a businessman whose desire for extreme wealth sends the world down a path of destruction, after an ancient artifact that grants wishes goes missing.

Setelah penantian selama sembilan bulan di masa pandemi panjang ini, akhirnya film besar kembali ke bioskop tanah air  yang di awali dengan Wonder Woman 1984 (WW84). Film sekuel Wonder Woman (2017) ini kembali disutradarai oleh Patty Jenkins yang kembali berkolaborasi bersama para bintangnya, yakni Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, serta pendatang baru Kristen Wiig serta Pedro Pascal. Dengan bujet USD 200 juta, apakah WW84 mampu mengulangi sukses film pertamanya?

Setelah peristiwa dalam film pertamanya, Diana (Gadot) kini mendedikasikan dirinya sebagai penolong umat manusia. Berlatar tahun 1984, di sela-sela aktivitas heroiknya, Diana kini bekerja di Museum Smithsonian Washington DC, AS di mana ia bertemu dengan karyawati baru Barbara Minerva (Wiig). Barbara tengah menyelidiki sebuah batu kuno misterius yang ternyata memiliki kemampuan magis istimewa. Seorang pebisnis komersial televisi, Maxwell Lord ternyata sudah sejak lama mengincar batu kuno ini. Tanpa mereka sadari, batu ini telah mengabulkan keinginan mereka yang rupanya memiliki konsekuensi besar yang bisa mengubah takdir dan hidup mereka.

Film ini di buka dengan amat meyakinkan melalui adegan kilas-balik yang menyajikan satu perlombaan ksatria yang diikuti Diana kecil di Themyscira. Satu segmen kecil ini saja sudah mampu menggambarkan adegan aksi dinamis dengan pencapaian visual mengagumkan plus kini tambahan musik powerful menghentak khas komposer kawakan Hans Zimmer. Ekspektasi besar menanti di depan mata, tidak hingga kisahnya yang absurd secara perlahan tapi pasti mulai merusak filmnya. Bagaimana bisa?

Baca Juga  Lou

Ini bukan masalah ”lampu jin Alladin” yang bisa memohon apa saja dan langsung dikabulkan. Genrenya memang memungkin segala jenis unsur magis bisa masuk di dalamnya. Tapi jika sudah berhadapan dengan logika cerita, ini jelas sulit untuk ditolerir. Ini tidak hanya sekali dua kali tapi berkali-kali. Kisah film ini sudah mati sejak ini diabaikan. Untuk mudahnya begini, jika kamu percaya bahwa Steve Trevor, seseorang yang tidak bisa membedakan antara tong sampah dengan karya seni, bisa menerbangkan pesawat jet modern yang jauh di luar pengetahuannya, maka kamu tidak ada masalah dengan film ini. Jika sebaliknya, maka ini bukan filmmu.

Dengan semua pencapaian estetiknya yang memukau, Wonder Woman 1984 tidak mampu mengangkat kisah yang cukup kuat untuk sekadar mengindahkan nalar yang dibuatnya sendiri. Kisahnya yang kelewat absurd membuat sulit untuk bisa larut dalam cerita filmnya. Filmnya menjadi terasa amat panjang dan sangat membosankan. Bahkan sekuen-sekuen aksinya pun, sudah tidak mampu menggoda seperti di segmen pembuka. WW84 tidak lebih dari Justice League yang mengumbar kekuatan visual tanpa roh yang cukup untuk mengangkat semangat pahlawan super dengan misinya yang mulia. Wonder Woman (2017) adalah satu contoh yang mampu melakukan itu semua dengan baik.

Stay safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaSong Bird
Artikel BerikutnyaThe Kid Detective
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.