Joker (2019)
122 min|Crime, Drama, Thriller|04 Oct 2019
8.4Rating: 8.4 / 10 from 1,554,927 usersMetascore: 59
Arthur Fleck, a party clown and a failed stand-up comedian, leads an impoverished life with his ailing mother. However, when society shuns him and brands him as a freak, he decides to embrace the life of chaos in Gotham City.

Dengung sukses Joker sudah kita dengar sejak beberapa bulan silam. Film ini meraih banyak pujian para pengamat di Venice Film Festival dan Toronto International Film Festival hingga bahkan sang bintang, Joaquin Phoenix digadangkan bakal sukses untuk meraih Piala Oscar tahun depan. Joker adalah garapan sineas komedi Todd Phillips yang kita kenal dengan seri komedi sukses, The Hangover. Selain Phoenix, aktor kawakan Robert De Niro, Zazie Beetz, serta Frances Conroy turut bermain pula dalam filmnya. Sekalipun sang antagonis adalah bagian dari semesta Batman, namun film ini berdiri sendiri, tanpa ada relasi dengan DC Extended Universe (DCEU) atau film Batman lainnya. Joker tercatat adalah film solo “supervillain” kedua setelah Venom yang rilis tahun lalu. Lantas, apakah memang filmnya sebaik pencapaiannya di festival film?

Alkisah Arthur Fleck (Phoenix) adalah seorang yang memiliki gangguan kejiwaan serta pula komedian yang gagal. Tekanan batin dan sosial membebani dirinya demikian hebat, belum lagi ia harus merawat sang ibunya yang tengah sakit. Dalam satu titik, akhirnya Arthur lepas kendali dan berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Kota Gotham yang kini tengah dalam situasi penuh kekacauan, seolah menanti sosok antagonis ini untuk muncul memberi perlawanan terhadap kaum elit.

Sosok Joker sudah kita kenal baik dalam medium film. Tercatat yang paling mengesankan adalah ketika sosok ini diperankan mendiang Heath Ledger dalam The Dark Knigth. Phoenix jelas bakal mendapat komparasi hebat mengingat penampilan Ledger yang luar biasa hingga diganjar Piala Oscar. Tapi kita tidak bicara aktor, namun adalah sosok Joker. Sebagian besar orang, terlebih penikmat film, mustahil untuk tidak kenal sosok ini. Dari semua film Batman, tercatat sosok ini muncul sebanyak 4 kali dan diperankan aktor yang berbeda, termasuk aktor kenamaan Jack Nicholson. Kita kenal Joker sebagai sosok yang dingin, nekad, tak punya belas kasih, selalu bertindak dengan semua kegilaannya, ditambah tawanya yang khas. Lantas, bagaimana sang antagonis mendapat semua sifat itu? Apa sebenarnya yang membuatnya menjadi sosok demikian bengis? Joker menjawabnya dengan gaya dan penuturan yang sangat berkelas.

Sebagai peringatan awal, jika kalian mencari film hiburan yang selama ini ada di film Batman, adalah salah besar. Joker jelas bukan film hiburan lazimnya, namun boleh saya bilang menggunakan pendekatan “film art”. Tempo kisahnya terasa sangat lambat dan ini cukup untuk membuat separuh penonton bioskop terlelap. Tak ada aksi dan momen seru seperti lazim genrenya melainkan fokus pada sisi drama tentang seorang manusia dengan trauma dan gangguan kejiwaannya. Joker mengingatkan banyak pada film thriller psikologis Midsommar yang rilis sebulan lalu dan tak heran jika membuat frustasi sepanjang film. Ratingnya 17+ juga menandakan banyak adegan brutal dan jelas ini adalah BUKAN film untuk anak-anak.

Baca Juga  Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Joker menuturkan latar dan konfliknya dengan penuh kesabaran. Kedalaman dan kompleksitas sosok Joker yang traumatik tersaji dengan apik, momen demi momennya, tanpa ada satu pun yang terlewat. Transisi editing kadang bisa mengaburkan penonton yang tak menyimak untuk membedakan segmen delusi, kilas balik, dan segmen nyata. Beberapa momen disajikan dengan bahasa visual berkelas dengan sinematografi yang amat menawan. Pun pemanfaatan elemen mise_en_scene untuk perpindahan mental sang tokoh. Beberapa kali sineas menggunakan toilet dan tangga berundak untuk menggambarkan transisi status mental sang antagonis. Setting kotanya pun tersaji pas dengan latar cerita 1980-an.

Sang aktor, Joaquin Phoenix, jelas adalah kunci keberhasilan utama filmnya. Entah mengapa, sosok yang memerankan Joker selalu diperankan serius oleh aktor-aktor pemainnya, sebut saja Nicholson dan Ledger. Para pemeran sang jagoan (Batman) bahkan disebut pun tak pernah untuk pencapaian aktingnya. Phoenix pun demikian. Sosok Arthur yang traumatik dan sakit sudah tergambar betul dalam ekspresi dan gestur sang aktor sepanjang filmnya. Tentu ini bukan hal mudah dan membutuhkan energi besar, namun Phoenix mampu melakukannya dengan sempurna. Anehnya, sosok Joker ini terasa pas dan terhubung kuat dengan sosok Joker dalam The Dark Knight, terkesan semacam prekuel. Bicara The Dark Knight, apakah ada yang merasakan kemiripan musiknya dengan musik tema Batman? Entahlah, ini disengaja atau tidak, dan ini memang bukan masalah.

Baik secara personal, estetik, maupun genrenya, Joker adalah salah satu film dalam ranah superhero yang terbaik. Problematik yang dihadapi sang antagonis ikonik ini adalah juga refleksi dunia yang kita hadapi saat ini. Joker menggambarkan dunia yang absurd, kacau, serta semakin hilangnya nurani manusia. Dunia macam inilah yang melahirkan sosok antagonis besar macam Joker. Semesta pun, akhirnya akan selalu mencari bentuk keseimbangan dengan melahirkan sosok protagonis macam Batman. Jika ditanya, soal kritik terhadap film ini yang dianggap mengamini anarki? Saya hanya bisa tertawa lepas. Lihat saja dunia di sekeliling kita sekarang. Joker sudah ada di mana-mana! Kita hanya tinggal menanti sosok Batman untuk muncul sebagai juru selamat. Mungkin ini hanya mimpi.

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel Sebelumnya6,9 Detik
Artikel BerikutnyaRetrospeksi Film Pendek Montase: 05:55
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.