Kung-Fu Zohra merupakan film drama “Kung-Fu” produksi Perancis arahan sineas Mabrouk El Mechri, yang kita kenal melalui JCVD (2008) dan satu dekade belakangan lebih sering menggarap miniseri televisi. Zohra dibintangi Sabrina Ouazani, Ramzy Bedia, Eye Haidara, dan Tien Shue. Dengan kombinasi drama keluarga dan aksi, seberapa jauh sang sineas mampu mengeksplorasi film ini? Rupanya lebih dari ekspektasi.

Zohra (Ouazani) adalah perempuan desa penggemar film Kung-Fu yang menikahi Omar (Bedia), seorang laki-laki kota yang berperangai kasar dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Sejak Omar menjadi pengangguran, otomatis istrinya menjadi penopang hidup dan sikap kasarnya makin menjadi dan mengarah kekerasan fisik. Setelah putrinya lahir, Omar dengan caranya selalu mampu mengambil hati putri mereka. Satu hal yang ditakuti Zohra, ia akan kehilangan putrinya jika ia menceraikan suaminya. Zohra pun mencari cara untuk membela dirinya dengan berlatih ilmu bela diri dan nasib mempertemukannya dengan seorang ahli Kung-Fu (Tien Shue).

Sulit untuk menjelaskan betapa briliannya film ini dalam mengemas tema kekerasan rumah tangga melalui gaya tipikal plot film-film Kung-Fu mandarin klasik. Ibarat dalam film horor, seringkali konflik keluarga atau trauma merupakan manifestasi sosok seram yang menghantui sepanjang film. Kung-Fu Zohra bahkan lebih dari ini. Zohra berlatih menjadi tangguh bukan untuk menjadi sosok pembela yang lemah, namun untuk dirinya dan sang putri. Jika kamu berharap Zohra bakal menjadi jagoan yang menghajar para bajingan jalanan (di mana sang sineas selalu menggoda kita beberapa kali), kamu salah besar. Film ini adalah murni konflik antara Zohra dan sang suami. Duel klimaks antara Zohra vs Omar menjadi solusi akhir masalah mereka yang juga sekaligus sajian sinematik yang menghibur. Momen ini adalah satu adegan perkelahian terbaik yang pernah saya lihat dalam medium film. Bukan aksi tapi kontennya.

Baca Juga  Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem

Sang sineas juga tidak hanya brilian dengan naskahnya, namun juga terampil mengemas sisi estetiknya, khususnya teknik editing. Jika kamu sudah akrab dengan film-film Kung-Fu klasik yang dibintangi Jacky Chan, Sammo Hung, atau Bruce Lee, kamu pasti sudah paham betul. Kombinasi shot dan transisi gambarnya banyak mengadopsi dan menggunakan tribute dari sana. Ini beberapa kali terlihat dalam proses latihan panjang yang dikemas melalui montage yang menawan. Satu catatan khusus dalam satu adegannya, sang sineas melalui satu montage brilian mampu menyajikan wujud kegelisahan dan ketakutan Zohra sebagai seorang ibu ketika ia kehilangan putrinya.

Kung-Fu Zohra menyajikan secara unik tema kekerasan rumah tangga dengan gaya humor berkelas, elegan, serta sinematik. Film ini adalah sebuah kombinasi dan sentuhan brilian sang sineas, bagaimana medium film mampu menyampaikan pesannya dengan cara yang menghibur. Bisa jadi film ini bakal mengecewakan banyak penonton yang berharap aksi lebih. Namun sang sineas memberi sedikit kejutan pada credit penutupnya. Patut diingat, kekerasan jelas bukan cara ideal untuk menyelesaikan masalah, terlebih konflik keluarga. Kung-Fu Zohra bukan mau memberi contoh atau solusi di kehidupan nyata, namun ini hanyalah sebuah sajian sinematik yang cerdas. Selamat menonton.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaLightyear
Artikel BerikutnyaBullet Train
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.