Lamb (2021)
106 min|Drama, Fantasy, Horror|08 Oct 2021
6.3Rating: 6.3 / 10 from 33,925 usersMetascore: 68
A childless couple discovers a mysterious newborn on their farm in Iceland.

Mengandung Spoiler.

Lamb adalah film drama fantasi produksi islandia arahan sineas debutan Valdimar Johannsson. Film ini dibintangi oleh Noomi Rapace yang juga duduk di bangku eksekutif produser bersama sineas kawakan Hungaria, Bela Tarr. Film ini premiere di Cannes Film Festival 2021 yang juga ikut kompetisi kategori Un Certain Regard. Lamb juga menjadi film perwakilan Islandia dalam ajang 94th Academy Awards tahun depan. Seistimewa itukah filmnya?

Maria (Rapace) dan Ingvar adalah sepasang peternak yang tinggal di pedalaman pegunungan. Suatu ketika, seekor domba betina milik mereka melahirkan bayi yang aneh, yakni berkepala domba namun berbadan manusia. Maria dan Ingvar pun merawat sang bayi seperti anak mereka sendiri, dan bahkan menamainya Ada, mendiang putri mereka. Hari-hari pun berjalan, dan Ada tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan bahagia.

Kisah ini jika di Jawa, banyak mengingatkan pada cerita rakyat, Timun Mas. Seorang ibu yang dikaruniai seorang anak bernama Timun Mas yang berasal dari Buto Ijo. Timun Mas kelak akan diambil oleh Buto Ijo jika sudah menjelang remaja. Terlalu jauh memang jika menghubungkan dua kisah ini. Plotnya jelas absurd jika kita melihatnya secara literal. Kisah Lamb sendiri, saya tidak tahu persis, apakah mengandung mitos atau cerita rakyat setempat, atau ini hanya simbol semata. Ada secuil petunjuk kecil pada plot filmnya, ketika dalam satu adegan memperlihatkan sekilas satu film yang tengah Ingvar dan Maria tonton. Tak jelas ini film apa, namun dalam dialognya, mereka sempat menyebut cerita rakyat (folklore). Bisa jadi, kisah film ini berhubungan dengan cerita rakyat.

Di luar polemik di atas, kisahnya sendiri berjalan lambat dan dengan cerdas mempermainkan adrenalin penonton sepanjang filmnya. Plotnya sulit untuk diprediksi dan penuh kejutan. Kita sejak awal tidak akan sadar jika bayi domba tersebut adalah anomali, tidak hingga sepertiga durasi film. Ini tentu membuat intens ketika satu karakter lagi masuk ke dalam plot, dan yang ternyata sosok ini adalah sebuah satu kejutan lagi. Satu adegan pancingan “mengerikan” adalah ketika sang paman membawa sang bocah berjalan jauh dari rumah, dan kita pun bakal tahu apa yang terjadi. Ternyata, ini hanyalah satu kejutan lagi. Satu kejutan terbesar jelas ada pada adegan klimaks, yang rasanya sulit untuk diantisipasi siapapun.

Baca Juga  Sentinelle

Plotnya sendiri didukung oleh beberapa aspek teknis yang istimewa. Satu poin jelas adalah setting dengan panaroma alam yang demikian memesona. Lengkap dengan atribut yang paling dominan, yakni kabut yang memperkuat nuansa mistik filmnya. Satu lagi adalah sisi sinematografi dengan komposisi yang amat terukur. Sajian gambar-gambar bagus penuh makna bertabur sepanjang film. Satu contoh terkait yang sudah dijelaskan di atas, saat Maria dan Ingvar menonton film. Film yang mereka tonton tidak utuh diperlihatkan satu frame, melainkan hanya seperempatnya saja. Mungkin ini maksudnya hanya mengandung seperempat cerita (secuil) rakyat? Terakhir, tentu pencapaian terbesar kita berikan pada para kastingnya, khususnya Rapace, yang rasanya kisah film ini memang didedikasikan untuk karakternya.

Lamb menyajikan satu kisah drama fantasi istimewa yang absurd dan provokatif dengan dukungan kasting, sinematogradi serta setting menawan. Lalu ini hanya mitos atau metafora semata? Mana yang benar? Dua-duanya bisa jadi benar. Jika menilik plotnya, film ini lebih bicara tentang sang ibu yang tak mampu lepas dari trauma kehilangan putrinya. Ya, sudah banyak film yang bicara soal ini, namun Lamb memasukkan “sedikit” cerita rakyat di sini. Alam yang dominan sepanjang filmnya, bisa jadi adalah juga perumpamaan sosok sang monster. Maria melakukan tindakan tak terpuji untuk memaksakan agar Ada selalu disampingnya. Semesta selalu bergerak dalam porsinya, jika kita melanggarnya, tentu akan menerima konsekuensi yang tak terkira. Lamb adalah satu sajian istimewa yang langka di masa kini yang bisa jadi sulit diterima banyak orang. Semoga film ini bisa diapresiasi baik di Academy Awards tahun depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaPemenang Festival Film Wartawan Indonesia XI
Artikel BerikutnyaLast Night in Soho
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.