Old merupakan film drama thriller arahan sineas kondang, M. Night Shyamalan. Cerita film unik ini diadaptasi dari novel grafis berjudul Sandcastle karya Pierre Oscar Levy dan Frederik Peeters. Film ini juga dibintangi aktor-aktris internasional, Gael Garcia Bernal, Vicky Krieps, Rufus Sewell, Alex Wolff, Abbey Lee, serta Ken Leung. Kita tahu persis, sang sineas telah menghasilkan beberapa karya unik berkelas, macam The Sixth Sense, Signs, Unbreakable, The Visit, hingga Split. Mampukah sang sineas kembalui memberikan pendekatan berkelasnya dalam Old?

Sepasang suami istri, Guy (Bernal) dan Prisca (Krieps), membawa dua putra putri mereka, Maddox dan Trent, berlibur ke sebuah pantai nan indah di wilayah tropis. Pihak hotel pun menawarkan mereka satu lokasi pantai eksklusif ditemani beberapa turis lainnya. Di balik pesona pantai nan surgawi tersebut, tak lama mereka menyadari telah terperangkap dalam sebuah anomali alam yang menyebabkan tubuh mereka ternyata menua lebih cepat. Mereka pun mencoba keluar dari lokasi tersebut sebelum umur mereka semakin bertambah.

Shyamalan memang selalu bermain dengan premis absurd, namun pesan yang ingin disampaikan selalu tersaji dengan gamblang. Namun, tak semua karyanya, termasuk Old, adalah bisa dikatakan istimewa seperti telah tersebut di atas. Satu pendekatan estetiknya adalah menawarkan sudut-sudut kamera yang tak lazim dan unik, dan gaya ini juga tak lagi tampak dalam film terbarunya ini. Satu cirinya yang masih digunakan adalah cameo dari sang sineas sendiri, yang kini secara literal, tokohnya adalah yang mengambil gambar semua peristiwa yang ada di pantai tersebut. Satu momen yang mampu membuat saya geli adalah ketika Trent bertanya padanya, apa pekerjaan dan jabatanmu? Saya berharap jawaban, saya seorang sutradara dan saya kini tengah memfilmkanmu.

Baca Juga  The Avengers

Kembali ke Old. Dengan premisnya yang unik, namun secara pengembangan kisah, plotnya tak mampu membuat sisi ketegangan yang menggigit. Entah disebabkan karena miss-casting, saya tak bisa merasakan chemistry yang sepatutnya dalam nyaris semua tokohnya. Seperti, komunikasi antara Guy dan Prisca terjalin sangat kaku, dan faktor yang membuat ini rasanya adalah dialognya. Mereka terlihat seperti membaca naskah yang ditulis sang sineas. Ini terjadi dalam banyak momen. Bagi pula yang sudah paham karya sang sineas, ending-nya pasti sudah lagi tak mengejutkan. Seperti saya katakan di atas, sang sineas selalu memberi jawaban yang gamblang atas misteri dan segala hal yang tampak absurd. Hanya kali ini terlalu mudah terbaca.

Premis unik dengan setting yang menawan, namun melalui Old, Shyamalan tak mampu menawarkan sesuatu yang menggigit baik naskah maupun pencapaian estetiknya yang selevel karya-karya besarnya. Dengan segala ke-absurd-annya, apa sebenarnya yang ingin disampaikan film ini? Apa yang bisa direnungkan jika rentang waktu hidup kita dari kanak-kanak hingga dewasa hanya beberapa hari saja? Ini bisa mengarah ke mana saja. Bisa bagaimana kita tidak membuang waktu dalam hidup untuk melakukan hal yang tidak berguna. Dari perspektif lainnya, bisa pula mengarah ke dilema moral, pengorbanan kecil untuk sesuatu yang lebih besar. Atau bisa pula tentang ikatan keluarga, atau penampilan adalah bukanlah yang pokok (melainkan hati), atau bisa pula keharmonisan rumah tangga, dan lain-lainnya. Aktor Rufus Sewell pernah bermain dalam film sci-fi masterpiece berpremis mirip, Dark City (1998), bahwa (pikiran) manusia tidak akan bisa dikekang (selalu menginginkan kebebasan) dan akan terus mencari solusi dari sesulit apa pun masalah yang di hadapinya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaBalada Sepasang Kekasih Gila
Artikel BerikutnyaAntusiasme dan Sukacita Para Pelaku Industri Perfilman untuk FFWI XI
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.