Tak disangka, franchise Predator ternyata masih diproduksi, walau tiga sekuelnya terbilang gagal. Prey mencoba mengambil setting waktu yang berbeda, yakni ratusan tahun sebelum kisah pertamanya terjadi. Prey disutradarai oleh Dan Trachtenberg yang juga menggarap film sci-fi thriller berkelas, 10 Cloverfield Lane. Film ini dibintangi Amber Midthunder, Dakota Beavers, Dane DiLiegro, dan Stormee Kipp. Film ini baru saja dirilis oleh platform streaming Disney Plus dan Hulu. Mampukah tangan emas sang sineas menjadikan film prekuel ini mengangkat pamor serinya?

Berlatar tahun 1719, di Amerika Utara di mana suku Indian pedalaman masih mengembara dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Naru (Midhunter) adalah seorang gadis tangguh suku Indian Comanche yang berhasrat untuk menjadi seorang pemburu seperti sang kakak, Taabe (Beavers). Dalam satu perburuan seekor singa, Naru yang turut serta, melihat ada sesuatu yang janggal pada jejak yang ia lihat. Jejak kaki binatang yang sama sekali belum pernah ia lihat. Untuk membuktikan omongannya, Naru bersama anjing setianya kembali ke lokasi perburuan. Sementara di luar sana, sang Predator terus memangsa dan mencari musuh terkuat untuk membuktikan superioritasnya.

OMG! Puluhan tahun saya menantikan film ini setelah beberapa kali sekuelnya tidak mampu memiliki semangat film orisinalnya yang dibintangi Arnold Schwarzenegger. Bisa jadi Alien vs. Predator (2004) lebih baik dari semua sekuelnya, walau ini adalah adaptasi video game. Prekuel kali ini memiliki pendekatan cerita yang kontras dengan seri sebelumnya. Sekian lama, saya berandai-andai, mengapa kisahnya tidak kembali ke masa lalu yang memungkinkan pertarungan berjalan hand to hand combat tanpa senjata api modern. Prey adalah jawaban yang nyaris sempurna. Sepanjang film kita hanya menyaksikan aksi sang Predator memangsa buruannya dengan sedikit kejutan cerita pada paruh ke dua cerita.

Baca Juga  Independence Day: Resurgence

Dengan semangat perempuan tangguh (baca: super) yang tren saat ini, era Indian adalah setting yang sempurna untuk menyajikan ini semua. Naru yang diperankan dengan sangat baik oleh Midthunter, adalah sosok ideal sebagai simbol perlawanan yang melawan arus, adat dan tradisinya. Bersanding untuk melawan sang Predator yang jauh lebih superior adalah satu hal yang tak akan terbayangkan siapa pun. Klimaksnya yang tak sulit diantisipasi adalah aksi terbaik serinya sejak pertarungan ikonik Arnold (Dutch) vs Predator. Dalam satu momen, Naru melontarkan kata-kata ikonik yang sama dengan Ducth, yang membuat saya, fans berat seri pertamanya, sampai merinding mendengarnya.

Walau tidak semegah film originalnya, dengan latar kisah dan aksi yang segar, Prey adalah seri Predator terbaik sejak film aslinya, nyaris 4 dekade lalu. Walau bakal memuaskan fans fanatiknya, namun beberapa hal patut disayangkan. Misalnya, penggunaan bahasa Inggris dalam dialognya. Mengapa tidak memakai bahasa aslinya (Comanche)? Toh aksi lebih berbicara ketimbang dialognya. Soal pilihan musik, walau musik tema aslinya begitu kuat, kini justru saya anggap brilian dengan banyak menggunakan instrumen drum yang selaras dengan latar masa kisahnya. Ah, andai saja, film ini diproduksi untuk versi teater dengan sedikit kolosal, rasanya bakal istimewa. Sangat disayangkan, film sebagus ini hanya kita lihat di layar televisi.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaPengabdi Setan 2: Communion
Artikel BerikutnyaThirteen Lives
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.