Tahun lalu Disney Plus merilis The Rescue (2021), film dokumenter tentang 11 anak-anak dan 1 pelatih sepakbola mereka, yang terperangkap di gua Tham Luang pada kedalaman lebih dari 5 km selama 18 hari pada tahun 2018. Kini Amazon Prime merilis film fiksinya, Thirteen Lives yang digarap oleh sineas kawakan Ron Howard. Film ini juga dibintangi beberapa nama besar, sebut saja Colin Farrell, Viggo Mortensen, Joel Edgerton, Tom Bateman, dan puluhan pemain Thailand. Berbekal sineas dan nama-nama bintang di atas, rasanya film ini bakal menjanjikan sesuatu yang menarik, walaupun kejadiannya belum lama terjadi.

Tanpa banyak basa-basi, seperti film bencana kebanyakan, film ini langsung masuk pada masalah pokoknya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan besar saya pribadi, apa motif anak-anak dan pelatihnya masuk ke dalam gua hingga sedalam itu di kala menjelang senja? Pertanyaan yang sama pun muncul di film ini, namun tak ada jawaban yang memuaskan. Poin filmnya memang bukan di sini melainkan pada upaya penyelamatan mereka. Ron Howard mampu menyuguhkan sebuah aksi yang intens dan terus memancing rasa penasaran, hingga durasi 2,5 jam sama sekali tak kita rasakan.

Masalah yang sepertinya sederhana ternyata jauh lebih rumit dari perkiraan, bahkan terasa mustahil untuk dilakukan. Bersama dua aktor besar, Farrel dan Mortensen, yang memainkan dua sosok penyelam gua senior, Richard Stanton dan John Volanthen dengan penuh karisma. Mereka adalah mata penonton untuk melihat aksi penyelamatan yang tak masuk akal, yakni menyelam di air keruh di dalam gua yang gelap gulita ber-km panjangnya, sempit, nyaris tanpa ruang udara, serta melawan arus air yang deras. Orang-orang ini jelas bukan manusia biasa. Kita yang menonton saja sudah merasakan kelelahan luar biasa, bagaimana mereka?

Baca Juga  Spider-Man: Into the Spider-Verse

Upaya keras Richard dan John yang mampu menemukan lokasi mereka di kedalaman lebih dari 5 km, rupanya bukan akhir dari kisah bencana ini. Peta grafis yang dibuat sang sineas untuk menggambarkan lokasi penyelam dan korban, sangat membantu penonton untuk melihat betapa jauhnya jarak mereka. Dari sini cerita justru baru dimulai. Bagaimana usaha mengeluarkan para korban dari lokasi adalah sesuatu yang rumit dan nyaris mustahil. Richard dan John adalah penyelam yang handal, itu pun tidak mudah bagi mereka untuk mencapai lokasi. Penyelam amatir terlebih anak-anak tentu tak akan mampu bertahan lama dalam situasi tersebut. Segala cara diupayakan, namun tanpa hasil hingga satu cara yang terbilang edan pun akhirnya menjadi opsi. Walau kebanyakan orang sudah tahu hasilnya, namun Ron Howard mampu mengalihkan fokus kita sesaat dengan menyajikan satu aksi penyelamatan mustahil yang luar biasa dengan akhir yang menyentuh.

Bukan kali pertama mengulik kisah yang sama, namun Thirteen Lives mampu merekonstruksi kisah penyelamatan heroik ini dengan intensitas tinggi dan menyentuh. Sentuhan emas sang sineas menyajikan satu runtutan kejadian 18 hari ini dengan informatif menjadi satu dokudrama yang memikat. Genre bencana sejati adalah film semacam ini yang dikemas apik dan humanis tanpa harus menyajikan tsunami setinggi 1 km, atau asteroid sepanjang 5km bahkan bulan yang menghujam ke bumi, yang jelas-jelas tak masuk akal.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaPrey
Artikel BerikutnyaLightyear
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.