Film petualangan mencari harta karun rupanya tengah tren kembali setelah sekian lama dianggap genre yang hilang. Setelah Uncharted baru lalu, kini rilis The Lost City dengan pendekatan cerita yang unik untuk genrenya. The Lost City diarahkan oleh Aaron dan Adam Nee dengan sederetan bintang kenamaan bermain di dalamnya, yakni Sandra Bullock, Channing Tatum, Daniel Radcliffe, hingga Brad Pitt. Dengan bermodal nama-nama besar ini, mampukah filmnya menyajikan sesuatu yang baru bagi genrenya?

Loretta Sage (Bullock) adalah seorang penulis novel roman petualangan laris berjudul The Lost City of D yang kini tengah tur mempromosikan karyanya. Turut bersamanya adalah sang bintang cover bukunya, Alan (Tatum) yang menjadi tokoh fiksi bernama Dash. Setelah acara selesai, Loretta diculik oleh seorang bilyuner eksentrik bernama Abigail Fairfax (Radcliffe). Fairfax percaya bahwa harta karun yang ada di dalam novel tersebut eksis dan rupanya ia sudah menemukan lokasinya di sebuah pulau tropis terpencil. Hanya saja, ia tak tahu persis lokasi harta karun tersebut hingga menculik Loretta untuk membantunya. Sang produser buku mengirim satu agen tangguh bernama Jack Trainer (Pitt) didampingi Alan untuk menyelamatkan sang penulis.

Bagaimana kita bisa serius menikmati jika filmnya sendiri tidak pernah serius dalam menuturkan kisahnya. Ini adalah masalah terbesar filmnya dan sepanjang menonton, kisahnya seperti main-main dengan dominasi humor garing di sana sini. Semua tokohnya terasa teatrikal dan tidak pernah ada satu koneksi jujur yang tersaji. Dialog buruk pada naskahnya semakin memperparah kisahnya. Sekonyol apapun film komedi, tetap saja kita butuh simpati dan empati pada tiap tokohnya. Ini sedikitpun tidak. Kita dibuat sama sekali tidak peduli. Belum lagi, logika kisahnya yang sudah tidak masuk akal. Jika setiap saat gunung berapi tersebut bisa meletus, bagaimana mungkin masih ada penduduk di pulau kecil tersebut?

Baca Juga  47 Meters Down: Uncaged

Tanpa ada chemistry cerita, karakternya, dan arah kisah yang jelas, The Lost City adalah satu contoh film box-office buruk yang bergelimang bintang. Film ini hanyalah menyia-nyiakan talenta para bintangnya. Satu lagi yang amat mengganjal adalah guntingan sensor yang sangat mengganggu. Saya mencatat beberapa kata “saru/sumpahan” di-mute suaranya yang baru kali ini saya lihat di bioskop. Jika hanya ingin menurunkan rating film ini, saya pikir ada cara lain yang lebih elegan, bukan dengan cara seperti yang sering kita lihat dalam tayangan televisi. Menonton film ini hanyalah membuang waktu.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaDeep Water
Artikel BerikutnyaThe Cursed
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.