The Northman adalah film drama sejarah fantasi arahan sineas Robert Eggers. Nama Eggers naik daun setelah memproduksi film horor supernatural unik, The Witch (2015). Kini, sisi supernatural dan penyihir masih tak lepas dari film terbarunya. Film ini dibintangi beberapa nama besar, seperti Nicole Kidman, Ethan Hawke, Alexander Skarsgard, Anya Taylor-Joy, Claes Bang, hingga Willem Dafoe. Film berdurasi 137 menit ini bermodal bujet sebesar USD 70-90 juta rilis pula di platform Amazon Prime. Sebuah pertaruhan besar untuk film fantasi dengan pendekatan estetik macam ini. Kita lihat.
Amleth (Skarsgård) adalah putera dari raja Aurvandil War Raven (Hawke) di wilayah Skandinavia pada masa 895 masehi. Ketika tahta ayahnya direbut paksa oleh sang adik, Fjölnir (Bang), Amlet kecil pun lari ke negeri seberang dengan membawa semua amarah dan dendam. Sekian tahun berlalu, Amleth pun dibesarkan bangsa Viking menjadi sosok petarung yang amat tangguh. Sukunya tengah menyerang satu desa kecil dengan kekuatan yang tak berimbang dan menghabisi sebagian warganya secara brutal. Setelah pertempuran, ia bertemu dengan seorang penyihir yang mengingatkan takdirnya untuk membalaskan dendam sang ayah.
Sejak awal, kekuatan besar film ini sudah terlihat di aspek setting dan sinematografi. Setting kerajaan skandinavia dengan suasana desanya yang khas disajikan begitu natural dengan tata cahaya kelam dan unsur kabut. Ini tak jauh dari pencapaian film sang sineas sebelumnya, The Witch. Sisi sinematografi dengan komposisi yang kuat dan pergerakan yang dinamis semakin menambah mood mencekam yang mendukung setting-nya. Kerap teknik long take digunakan bersama pergerakan kamera yang rumit, contoh pada adegan perahu di sungai, serta adegan penyerangan di desa yang mengikuti sosok Amleth. Dua aspek ini (setting dan kamera) memang disajikan di atas rata-rata. Sangat luar biasa. Hanya saja, jika diproduksi dengan menggunakan bahasa aslinya (bukan Inggris), bisa jadi akan lebih baik.
Dari sisi cerita, film ini mengesankan tipikal aksi pembalasan dendam, namun pendekatan puitik dan absurdnya justru mengaburkan maknanya. Satu twist besar di pertengahan cerita (sang ibu) membuat kisahnya menjadi lebih menarik, namun peran sosok Olga yang diperankan Anya Taylor-Joy membuat kisahnya seolah tarik ulur. Ada dualisme sikap yang sulit untuk dijelaskan. Revenge or love? Dengan segala eksekusi kisahnya, ini sungguh tak sepadan dengan bangunan pondasi cerita yang kuat sejak awal. Semua menjadi serba tanggung.
Tak ada keraguan, sentuhan khas sang sineas di aspek mise_en_scene dan sinematografi yang amat memukau, namun dari sisi cerita The Northman terasa sedikit lepas dengan pesan yang kabur. Apa sebenarnya yang diinginkan dari naskahnya? Jalan hidup seorang Vikings adalah sikap gagah berani seorang ksatria dalam menumpas musuh-musuh dengan Valhalla (surga) sebagai tujuan mereka. Benarkah? Namun dalam prosesnya, mereka membantai secara brutal manusia (termasuk perempuan dan anak-anak) yang tak berdosa. Bukan masalah benar atau salah serta konsekuensi moral di sini. Jika memang ini yang dimaui, mengapa harus mempertontonkan adegan yang begitu sadis? Apa yang mau dibela sang protagonis? Love or revenge? Jika ini adalah kisah nyata tentu adalah masalah lain.