WandaVision (2021)
350 min|Action, Comedy, Drama|15 Jan 2021
7.9Rating: 7.9 / 10 from 374,653 usersMetascore: N/A
Blends the style of classic sitcoms with the MCU, in which Wanda Maximoff and Vision - two super-powered beings living their ideal suburban lives - begin to suspect that everything is not as it seems.

WandaVision adalah miniseri pertama yang menampilkan karakter utama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang diproduksi pula oleh Marvel Studios. Tokoh utamanya, Wanda Maximoff dan Vision masih diperankan oleh Elizabeth Olson dan Paul Bettany dengan beberapa pemain pendukung MCU yang familiar, seperti Randall Park (Antman), Kat Dennings (Thor). Beberapa pemain baru muncul, yakni Teyonah Parris, Kathryn Hahn, serta Evan Peters. Jika kamu berpikir, pencapaian teknis miniseri ini tidak seperti film layar lebarnya, kamu salah besar. Marvel Studios sepertinya tidak mau setengah-setengah dan bahkan mampu bermain-main dengan sisi cerita yang tak mungkin digarap di versi bioskopnya.

Inti kisah miniserinya memang terbilang rada rumit dan sulit pula diceritakan tanpa spoiler. Sederhananya, film ini berkisah tentang latar belakang sosok Wanda Maximoff dengan timeline cerita setelah Avengers: Endgame. Dikisahkan Wanda yang masih belum bisa move-on dari sang kekasih, Vision, dengan menggunakan kekuatannya membangun dunia imajinasinya sendiri di mana harapan dan impiannya bisa terwujud di dunia maya ini. Apakah ini berhasil? Tentu saja tidak dan ini justru membuat masalah baru yang pada akhirnya mampu mendewasakan sosok jagoan kita. That’s it. Rasanya ini boleh dibilang tanpa spoiler. He he he.

Banyak hal yang saya patut acungi jempol dalam miniseri ini. Pertama, kita bicara kisahnya, sepertinya sudah sering kita lihat dalam film MCU lainnya, seperti Iron Man, Doctor Strange, dan Spider-Man. Poin kisahnya sama, hanya prosesnya saja yang berbeda. Cara mengemas kisahnya yang boleh dibilang sangat brilian. Timeline-nya yang mengambil setelah peristiwa Endgame juga memudahkan fans MCU untuk mencerna kisahnya dan dengan sedikit kilas balik, komplit sudah background sosok Wanda. Setelah ini, sosok Wanda Maximoff aka Scarlet Witch yang kabarnya juga masuk dalam cerita Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) bakal masuk dengan sempurna sebagai pendamping Strange (atau malah musuh?).

Kedua adalah pendekatan estetiknya berupa gaya seri komedi televisi klasik yang menjadi realita alternatif Wanda dengan dunia nyata. Keduanya disajikan secara simultan dengan sangat brilian, tanpa merusak kisah MCU sebelumnya. Lantas bagaimana pula Vision bisa hidup setelah Endgame? Percaya saja, tak ada kisah MCU yang dilanggar. Seri televisi klasik, apa tidak terlalu kuno? Tidak sama sekali dan ini justru adalah pilihan yang sangat brilian. Walau tak lagi segar (Pleasantville, 1998), namun pilihan ini membuat pendekatan estetiknya menjadi amat unik. Pembuat film bisa bereksplorasi dengan ragam gaya akting & penyutradaraan, tone warna gambar, aspek rasio, musik dan lagu, efek suara, bahkan bermain-main dengan credit title. What a show!

Elizabeth Olsen yang sudah familiar dengan seri televisi seperti menemukan kembali dunia lamanya, demikian pula Paul Bettany. Tak ada yang lebih nikmat menonton film, selain melihat para pemainnya sendiri tampak menikmati perannya. Permainan akting mereka berdua sungguh sangat luar biasa. Saya jatuh cinta dengan akting keduanya. Seri komedi televisinya adalah segmen terbaik yang ada dalam miniserinya. Ah, andai ada penghargaan Oscar untuk miniseri. Keduanya begitu brilian.

Baca Juga  The Rhythm Section

WandaVision masih bekerja dalam semesta yang sama dengan eksplorasi cerita dan estetik yang amat brilian yang belum pernah tersentuh genrenya. Lantas apakah ada kelemahan miniserinya? Mungkin bukan kelemahan tapi selera. Saya hanya tidak terlalu suka dengan sosok antagonis di film ini (no spoiler). Ke mana saja sosok karakter ini bersembunyi sebelumnya? Apakah kejadian jentikan jari Thanos tidak membuatnya jera. Bisa jadi ini bakal menjadi problem kisah miniseri berikutnya. Setelah Thanos, mau apa lagi coba? Ini tentu tantangan bagi para penulis naskah film-film MCU. Beberapa tokoh pendukung MCU lain yang masuk, seperti Jimmy Woo (Antman), Darcy (Thor), dan Monica Rambeau rasanya masih sedikit dipaksakan. Anehnya juga, karakter-karakter ini seolah ikut terlibat langsung dalam aksi besar film-film Avengers (atau menonton filmnya:)) dengan komentar yang kadang personal atau terlalu detil untuk mereka tahu. Satu kelemahan lagi adalah jika kamu bukan penikmat MCU, kamu tak akan bakal tahu apa pun yang terjadi dalam film ini.

Sebagai penutup, miniseri WandaVision adalah seri wajib tonton bagi fans MCU yang lagi-lagi mampu memberi sentuhan yang berbeda baik untuk genre dan semesta sinematiknya. Jika bisa, tonton miniseri ini melalui sistem audio yang memadai (5.1) dan kamu bakal mendapatkan pengalaman menonton yang sama dengan film bioskopnya. Sayang sekali, jika hanya menontonnya di layar handphone.

Stay safe and Healthy.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
95 %
Artikel SebelumnyaComing 2 America
Artikel BerikutnyaCome True
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.