Berita menyoal DC Extended Universe (DCEU) memang menghangat belakangan ini terkait CEO baru mereka, James Gunn. Ia memiliki visinya sendiri yang dianggap mampu menyelamatkan semesta sinematik DC ke arah yang baru. Film-film yang kelak diproduksi pun telah dikonfirmasi terlepas pro kontra dari para fansnya. Lantas film-film tersisa DCEU mau diapakan? Ini termasuk Shazam 2, Flash, dan Aquaman 2. Bahkan Flash baru lalu dirilis trailer-nya. Lalu bagaimana Shazam! Fury of the Gods yang minggu ini rilis? Fury of the Gods masih diarahkan oleh David F. Sandberg dengan bintang-bintang regulernya, yakni Shawn Levy, Asher Angel, Jack Dylan Grazer, Djimon Honsou, ditambah Hellen Mirren, Luci Liu, dan serta Rachel Zegler.

Setelah peristiwa sebelumnya, sang penyihir (Honsou) rupanya masih hidup dan ditawan oleh para dewi yang ingin membalas dendam atas kematian ayah mereka, Atlas. Mereka adalah Hespera (Mirren), Calypso (Liu), dan Anthea (Zegler). Ketiganya membutuhkan enerji murni sang champion dan dua artifak magis untuk menguasai dunia manusia. Shazam/Billy (Levy/Angel) dan kelima saudara angkatnya berusaha mencegah dunia dari malapetaka untuk kedua kalinya.

Tidak seperti film sebelumnya, plot Fury of the Gods berjalan dengan tempo cepat dan nyaris tanpa jeda, terutama sejak babak kedua. Ini membuat latar cerita tentang para dewi teramat minim, walau motif mereka disinggung dalam dialog. Alur plotnya to the point tanpa banyak intrik. Fokus plot adalah pada artifak mistik yang mereka buru. Kisahnya bergantian di antara dunia manusia dan para dewa, melalui pintu portal magis yang kini semudah masuk ke dalam toilet (tanpa perlu lagi naik kereta api bawah tanah). Aksi dua antagonis pun membawa petaka besar serta memporakporandakan seisi kota yang menarik perhatian global. Bukankah ini semesta cerita yang sama dengan Superman dan konco-konconya, lalu di mana Justice League atau Justice Society pada saat peristiwa bencana besar ini terjadi?

Baca Juga  Perempuan Bergaun Merah

Kisahnya tidaklah terlalu buruk dan jika ekspektasimu pada aksi, ini yang bakal kamu dapat sepanjang filmnya. Pesona CGI mendominasi aksinya dan jika belum lelah dengan genre ini, kamu mungkin bisa menikmatinya. Setidaknya ini lebih baik dari aksi artifisial full CGI dari Ant-Man 3 baru lalu. Selipan komedi juga jauh berbeda dari seri pertamanya yang hanya fokus pada Billy dan Freddie, kini nyaris semua karakter ikut membanyol, termasuk the wizard yang kini mencuri perhatian. Beberapa lelucon pun mampu memancing tawa geli, walau sosok Shazam! kini tak sekonyol film pertamanya. Kehadiran dua aktris kawakan Mirren dan Liu juga membawa kisahnya terasa serius dengan ancaman yang nyata.

Shazam! Fury of the Gods adalah sekuel rutin yang melelahkan di ambang masa akhir DCEU. Sepanjang film, pikiran saya hanya pada semesta sinematiknya yang kelak akan di-reboot. Ini membuat pertarungan hidup mati dan aksi seru yang tampak pada layar seperti hambar. Cameo besar yang muncul pun sudah tidak memberi reaksi heboh. Bioskop sepi penonton dan ini bisa dimaklumi jika ini premiere film Missing, namun ini tak lazim untuk film sebesar ini. Manajer bioskop tempat saya menonton pun ikut mengeluh dan bertanya pada saya. Entahlah, mungkin penonton sudah jenuh dengan genrenya atau DCEU sudah kehilangan minat karena kelak akan bubar? Masih ada dua lagi menanti. Semoga saya tidak mengantuk seperti ini ketika menontonnya kelak.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Last of Us
Artikel BerikutnyaCocaine Bear
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.