sleep call

Mengandung Spoiler.

Delusi yang amat kuat dapat memungkinkan seorang dengan skizofrenia menciptakan dunia ideal dalam kepalanya, termasuk memiliki kepribadian lain. Garis besar masalah yang sebisa mungkin tersembunyi dalam Sleep Call arahan Fajar Nugros. Ia pula yang menggarap skenarionya bersama Husein M. Atmodjo dengan cerita dari Sophie Louisa. Melalui produksi IDN Pictures –yang dikepalai pula oleh Nugros, film thriller ini dimainkan antara lain oleh Laura Basuki, Jenny Zhang, Juan Bione Subiantoro, Kristo Immanuel, Bront Palarae, Della Dartyan, serta Rukman Rosadi. Ada tema seputar masalah gangguan mental dan (boleh jadi) kepribadian ganda pula dalam Sleep Call. Lantas, seperti apa cara visualisasinya?

Situasi penuh tekanan karena tuntutan pekerjaan sehari-hari beserta masalah ekonomi dan trauma masa kecil lambat-laun memengaruhi mental Dina (Laura). Selain dengan kondisi ibunya (Jenny), jeratan pinjaman online, serta keharusan meningkatkan kinerja, masih ada Bayu (Kristo) dan Tommy (Bront) yang terus merongrongnya dengan berbagai bujuk rayu hingga ancaman. Belum lagi bila sewaktu-waktu ada debitur yang bertindak membahayakan. Di bawah tumpukan tekanan tersebut, hanya rutinitas sleep call setiap malam dengan Rama (Bione) yang mampu menolong Dina dari penat. Namun, masalah mental Dina bukan hanya depresi atau stres, melainkan lebih akut dari itu. Apakah kenyataan yang dijalani Dina selama ini memang benar-benar nyata?

Tak dapat dipungkiri bahwa film-film arahan Nugros juga cukup variatif, walau beberapa kali masih berputar-putar pada percintaan anak muda dan komedi. Untuk kali ini ada Sleep Call yang mencoba mengejawantahkan masalah gangguan mental yang (seolah) sudah sampai ke tahap gangguan kepribadian. Sleep Call nyatanya bukan soal romansa biasa yang ditalikan dengan seutas aplikasi cari jodoh belaka. Malahan menyoroti pula tentang kriminalitas, fenomena sosial, serta masalah ekonomi. Utamanya dalam bingkai kecenderungan untuk secara instan lari ke pinjaman online (pinjol) –yang marak menjerat banyak orang—sebagai solusi cepat. Pula cara para karyawan dari perusahaan pinjol dalam melakukan penagihan.

Ada unsur nyata dan khayal dalam praktik sleep call –sedikit atau banyak. Kebutuhan akan adanya pendengar terbaik untuk setiap keluh kesah dan lelah, dari padatnya aktivitas sehari-hari dalam kesibukan bekerja di ibu kota. Pada bagian ini, Sleep Call menunjukkan pemisahan antara dua unsur tersebut menjadi dua dunia berbeda melalui perbedaan warna. Nyata sebagaimana hari-hari biasa berlalu, dan campuran ungu-merah muda. Terkadang dalam tone yang terang, tetapi lebih acap tampil gelap. Pada titik ini perbedaannya jelas, antara Dina yang menikmati dunia maya atau khayalnya dan menderita dalam tekanan terus-menerus setiap kali menjalani kenyataan.

Sleep Call kemudian mempunyai cara penyampaian cerita yang agak berlompatan sebagai dampak dari kekacauan pikiran sang tokoh utama. Laura pun membawakan karakternya dengan baik. Seorang dengan gangguan mental yang seakan hanya sebatas delusi atau ketidakmampuan dalam membedakan antara nyata dan maya. Namun, ternyata jauh lebih berat dari itu. Kali terakhir penampilan terbaik dari talentanya –walau beda genre—adalah dalam Cek Toko Sebelah 2 (2022). Keduanya, baik Laura sebagai Natalie maupun Dina, sama-sama memiliki level berat masing-masing menurut kebutuhan cerita, dan ia menunjukkan kebolehannya. Demikian juga dengan penjiwaan Bione sebagai Rama yang (tampak) nyata dan Rama dalam delusi. Perkembangan olah perannya secara stabil tidak mengewakan lagi sejak penampilannya dalam Father & Son (2022) dan Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama (2022).

Baca Juga  Hidden Strike

Sleep Call boleh jadi terkesan baru di antara film-film Indonesia yang cenderung homogen selama ini. Namun, persoalan delusi bahkan adanya kepribadian ganda bukanlah sekali ini muncul sebagai problematika utama. Dalam katalog film-film Indonesia saja setidaknya sudah ada 4 Mantan (2020), Nona (2020), dan Will (2021) –dengan kekurangan masing-masing. Baru-baru ini pula ada Ketika Berhenti di Sini (2023). Sementara itu, lebih jauh lagi pada dekade lalu sudah didahului oleh Shutter Island (2010) dengan masalah delusionalnya yang lebih kuat dan bercabang menciptakan banyak konflik. Dua kesamaan di antara semua ini adalah faktor keadaan ideal sesuai keinginan atau kondisi paling benar menurut sang tokoh utama, dan penceritaan yang berlompatan atau muncul dalam patahan-patahan adegan.

Sayangnya, Sleep Call kurang mencermati batasan-batasan antara yang nyata dan khayal, juga antara bagian delusi atau skizo dan kepribadian ganda. Ini menjadi fatal karena ada kaitan pula dengan judul yang digunakan. Apakah rutinitas bertelepon setiap malam menjelang tidur yang Dina lakukan termasuk bagian dalam delusinya? Bila kemudian iya, artinya judul Sleep Call menjadi kekurangan fungsi vital terkait relasinya dengan konflik utama dalam cerita. Karena sleep call menjadi bukan satu-satunya masalah besar dalam pikiran Dina, melainkan masih ada situasinya yang terjebak dalam hubungan dengan Tommy dan Bayu. Apakah delusi Dina sebatas kehadiran Rama dan Bella (Dartyan), ataukah mencakup keseluruhan cerita termasuk aktivitas di kantor?

Walau agak berlompatan, Sleep Call menampilkan salah satu versi terbaik Laura Basuki dan pemisahan antara yang nyata dan khayal, dengan ambiguitasnya. Pada akhirnya batasan delusi Dina yang sampai ke bangku penonton menjadi kabur, kapan permulaan dan akhirnya. Juga apakah rekaan dalam kepala Dina hanyalah Bella dan boleh jadi juga dengan Rama, atau bahkan hingga keseluruhan rutinitas hariannya. Terlepas dari semua ambiguitas tersebut, setidaknya visual Sleep Call lewat sudut-sudut dan cara-cara pengambilan gambarnya menyenangkan untuk dinikmati. Begitu pula kapabilitas Laura dalam memanifestasikan sosok Dina, meski dengan karakter yang memiliki masalah mental dan kepribadian.

PENILAIAN KAMI
overall
80 %
Artikel SebelumnyaOrpa
Artikel BerikutnyaA Haunting in Venice
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.