srimulat hidup memang komedi

Kisah grup lawak legendaris asal Solo, Srimulat, berlanjut kembali melalui film kedua, Srimulat: Hidup Memang Komedi. Masih dengan arahan sekaligus pengerjaan skenario oleh Fajar Nugros. Begitu pula diproduksi melalui MNC Pictures dan IDN Pictures. Komedi nostalgia dengan selipan drama ini masih diperankan oleh Bione Subiantoro, Elang El Gibran, Dimas Anggara, Zulfa Maharani, Ibnu Jamil, Erick Estrada, dan Indah Permatasari, serta penampilan dari dua pemain lawas Srimulat, yaitu Nunung dan Tessy. Mengingat tendensi film sebelumnya ialah nostalgia semata, bagaimana dengan yang kali ini?

Srimulat adalah keluarga bagi para anggotanya. Namun, Gepeng (Bione) yang masihlah baru masuk kerap melakukan kesalahan dan menimbulkan kesalahpahaman. Termasuk menata perasaannya terhadap Royani (Indah). Alhasil, tak jarang muncul kekecewaan. Terutama bagi Tarzan (Ibnu) yang sejak mula agak menolak keberadaan Gepeng. Di sisi lain, Tessy (Erick) melakukan pencarian jati dirinya selama bersama dengan kelompok waria. Apa sebenarnya tujuan Srimulat saat mereka menerima tawaran untuk tampil di ibu kota?

Apa yang bisa diharapkan dari sebuah film tentang seorang pelawak atau grup lawak legendaris di Indonesia? Untuk yang kesekian kalinya ternyata nostalgia belaka. Sebagaimana dilakukan pula dalam keempat film Warkop DKI Reborn (2016, 2017, 2019, 2020) dan dua film Benyamin Biang Kerok (2018, 2020). Bukan sebagai sarana untuk mengisahkan biografi perjalanan dari para legenda itu sendiri, atau setidaknya memiliki tawaran lain alih-alih sekadar menampilkan kembali cara-cara mereka dalam berkomedi. Masih lucu memang, tetapi sudah umum dan repetitif.

Hidup Memang Komedi juga terlalu banyak memasukkan ringkasan dari film sebelumnya. Bahkan hampir sampai separuh film ini berisi cerita dari Hil yang Mustahal. Tak hanya lima atau sepuluh menit. Sisanya pun adalah pemindahan pertunjukan panggung Srimulat dengan gaya komedinya ke layar lebar. Tiba-tiba horor pula yang entah datang dari mana. Adapun segmen-segmen drama keluarga, konflik batin, serta masalah percintaan menjadi selipan semata. Sensasi menonton sebuah film pun lebih berkurang lagi dibanding sebelumnya –yang memang sudah kurang. Justru kesulitan para anggota Srimulat selama proses rekaman kurang mendapat perhatian lebih untuk digali potensinya.

Baca Juga  Hitam

Penampilan Ibnu sebagai Tarzan dan Zulfa yang memerankan Nunung juga terlalu karikatural dalam setiap adegan. Tak logis bila dalam keseharian pun keduanya, Tarzan dan Nunung pada masa lalu, menyertai setiap percakapan dengan gestur berlebih, sebagaimana yang muncul dalam film ini. Kecuali mereka berdua, yang lain lebih tampak manusiawi. Termasuk karakter Kabul atau Tessy sekalipun. Cara bicara Basuki juga khas seperti sosok aslinya. Apalagi bila sedang memprotes atau tidak terima dengan seseorang. Walau karakter Timbul –yang terhitung kerap muncul—dan Rohana kurang kuat.

Srimulat: Hidup Memang Komedi pada akhirnya lagi-lagi adalah nostalgia gaya lawakan mereka setiap kali melakukan pertunjukan. Persis Hil yang Mustahal. Tendensi untuk bernostalgia mengakibatkan cukup banyak adegan minim motif bermunculan, berikut melebih-lebihkannya. Hanya agar dapat menampilkan lawakan-lawakan Srimulat-an. Persis seperti yang ada dalam Warkop DKI Reborn, khususnya part 1 dan 2. Walau terdapat momen drama pun rasanya sekadar selipan. Lucu dan menghibur, tetapi sayangnya lagi-lagi nostalgia semata.

PENILAIAN KAMI
Srimulat: Hidup Memang Komedi pada akhirnya lagi-lagi adalah nostalgia gaya lawakan mereka setiap kali melakukan pertunjukan.
60 %
Artikel SebelumnyaWish
Artikel Berikutnya24 Jam Bersama Gaspar – JAFF 2023
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.