star syndrome

Keangkuhan menjadi bintang panggung pasti dilakukan oleh beberapa entertainer, baik sadar maupun tidak. Begitu pula sikap tokoh utama dalam film berjudul Star Syndrome arahan Soleh Solihun, dengan skenario garapan Rino Sarjono. Film drama musikal dan komedi produksi Mahakarya Pictures ini menampilkan Gilang Dirga (merangkap produser), Kezia Aletheia, Tanta Ginting, Tora Sudiro, Tissa Biani, dan Ariyo Wahab. Soleh Solihun amat jarang berperan sebagai sutradara sejak kemunculan perdananya. Lantas, bagaimana dengan hasil arahannya kali ini?

Usai hiatus selama 10 tahun pascaketenaran pada tahun-tahun awal 2000-an, Jay Adi (Gilang) berupaya menyempurnakan lagu terbarunya demi momentum dirinya kembali ke industri musik. Namun, Jay sangat tidak menyadari star syndrome-nya, sehingga selalu menyombongkan diri kepada banyak orang. Walau manajer sekaligus temannya, Zul (Tanta) sudah berulang kali menasihatinya. Sampai kemudian Nur (Kezia) muncul dan menarik perhatian Jay lewat sebuah rekaman. Namun, Jay yang masih saja merawat arogansinya sebagai mantan bintang banyak melakukan kesalahan.

Rasa-rasanya, Star Syndrome merupakan bentuk totalitas sang sineas yang memang telah lama mengikuti dunia musik Indonesia sejak era lama sebagai seorang jurnalis. Eksekusi untuk setiap penampilan musik dilakukan dengan baik. Sayangnya, hal yang sama tidak terjadi untuk kebutuhan visual. Beberapa adegan justru kurang memiliki variasi shot. Untuk urusan menampilkan musik dalam film musikal, Soleh Solihun memang dapat diandalkan. Toh ia pun pernah mengaku berhasrat untuk mengarahkan film musikal sendiri. Namun, untuk perkara memenuhi kebutuhan visual lewat variasi gambar, masih perlu banyak belajar.

Star Syndrome cukup kerap mengulang shot-shot serupa, khususnya dalam satu scene panjang. Misalnya dalam scene-scene panggung dan studio. Soleh terlalu fokus dengan elemen musik, tanpa memberi perhatian yang lebih baik untuk berkreasi dalam sajian visualnya. Adapun tangkapan layar dan grafis dari media sosial yang beberapa kali muncul adalah soal lain. Kendati demikian, secara keseluruhan mendingan ketimbang dua film Soleh sebelumnya.

Baca Juga  Rasuk 2

Di sisi lain, akting para pemainnya sudah cukup baik dalam membawakan karakter masing-masing. Kecuali Tissa Biani yang justru tampak bingung dengan karakternya sendiri dalam sejumlah situasi, gara-gara kudu acuh tak acuh terhadap Jay sebagai kakaknya. Informasi bahwa Jay adalah kakaknya pun baru muncul saat mulai memasuki pertengahan cerita. Sementara itu, Gilang Dirga dan Kezia bisa menunjukkan kebolehan mereka dalam berakting. Meski keduanya sama-sama belum punya banyak rekam jejak berakting dalam film. Tak kalah dengan yang lebih senior dalam film ini.

Star Syndrome pun tampaknya memberi kesempatan kepada talenta-talenta yang jarang muncul dalam kebanyakan film. Jelas sekali dengan melihat kemunculan pemain-pemain yang berada di lingkungan pergaulan sehari-hari sang sineas. Berperan sebagai pembawa unsur-unsur komedi ke dalam cerita. Ada, tetapi tak melebihi elemen drama dan musikalnya. Penulis skenarionya juga seakan tak mau melewatkan kesempatan untuk memasukkan nama salah seorang musisi besar agar disinggung dalam dua kali dialog pendek. Bahkan menyindir mantan rekan satu grup dari salah seorang pemain. Sebagian kecil dari cara-cara untuk sedikit menyelipkan komedi ringan di antara keseriusan drama dalam Star Syndrome.

Star Syndrome tidak memukau, tetapi cukup menghibur dengan sajian musiknya. Menampilkan performa yang bagus melalui elemen musikal, tetapi masih kekuarangan nyawa filmis dari variasi gambar. Sang penulis pun lebih sering menulis cerita-cerita series selama ini, di samping Soleh yang baru menyutradarai film ketiga. Itu pun dua film sebelumnya berujung kegagalan. Satu-satunya faktor keberhasilannya dalam mengarahkan Star Syndrome yang notabene drama musikal adalah hasratnya soal musik. Selain itu, apresiasi untuk Gilang Dirga yang meskipun merangkap produser tetapi tak memberi pengaruh buruk terhadap sisi kreatif cerita film.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaTransformers: Rise of the Beasts
Artikel BerikutnyaFlamin’ Hot
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.