transformers rise of the beasts
Transformers: Rise of the Beasts (2023)
127 min|Action, Adventure, Sci-Fi|09 Jun 2023
6.0Rating: 6.0 / 10 from 107,899 usersMetascore: 42
During the '90s, a new faction of Transformers - the Maximals - join the Autobots as allies in the battle for Earth.

Transformers: Rise of the Beasts adalah film ketujuh dari seri Transformers yang merupakan prekuel dari Transformers (2007). Michael Bay kini duduk di bangku produser sementara Steven Caple Jr. kini mengarahkan filmnya. Beberapa karakter regulernya diisi suara kembali oleh Peter Cullen, John DiMaggio, dan David Sobolov dengan pendatang baru, seperti Anthony Ramos, Dominique Fishback, serta pula menggunakan pengisi suara bintang-bintang kawakan, yakni Ron Perlman, Peter Dinklage, dan Michelle Yeoh. Setelah sekian lama serinya yang melelahkan, kini apa lagi yang mau ditawarkan?

Konon jutaan tahun silam, kelompok robot Maximals berseteru dengan Terrorcons untuk mendapatkan transwarp yang ingin digunakan oleh penguasa gelap bernama Unicorn. Alat ini mampu membuat portal yang melintasi ruang dan waktu sehingga Unicorn dapat menguasai seluruh jagad semesta. Maximals tersisa akhirnya dapat melarikan diri ke bumi dan menjaga transwarp jauh dari tangan pihak jahat.

Sementara di Planet Bumi pada tahun 1984, satu kepingan transwarp secara tak sengaja bisa berada di museum di Kota Brooklyn yang lalu dianalisa oleh arkeolog, Elena (Fishback). Tanpa di sadari Elena, ia membuka portal transwarp sehingga membuat Terrorcons yang dipimpin Scourge (Dinklage) mengetahui lokasi Bumi. Di lain tempat, eks militer bernama Noah (Ramos) tengah dilanda masalah keuangan karena kesehatan adiknya. Ia pun terpaksa mengambil jalan pintas dengan mencuri sebuah mobil, namun naas karena kendaraan yang ditumpanginya adalah member Autobots, Mirage (Pete Davidson). Di tengah segala kemelut, akhirnya autobots yang dipimpin Optimus Prime (Cullen) memanfaatkan Noah untuk mengambil transwarp ke museum. Noah pun bersua Elena di museum, di saat Terrorcons juga tiba di sana. Pertarungan antar robot pun tak terelakkan.

Baca Juga  The Ice Road

Berbeda dengan seri sebelumnya, Rise of the Beasts mengambil setting waktu setelah peristiwa di Bumblebee yang berlatar tahun 1987 dan jauh sebelum Transformers (2007). Naskahnya yang sepertinya sudah sulit dikembangkan setelah seri kelima membuat para penulis mencari celah baru dan segar dengan berbalik mundur. Secara komersial dan kritik pun Bumblebee tidak buruk bahkan dianggap yang terbaik di serinya. Formula yang sama pun kini dicoba kembali dengan memasukkan elemen kisah Maximals vs Terrorcons. Memaksa? Jelas sekali. Walau para penulis naskahnya telah berusaha semampu mereka untuk loyal pada kisah seri utamanya (Transformers 1 – 5), namun tetap saja kontinuiti cerita menjadi masalah besar. Apa itu penting? Bagi saya jelas tidak.

Sama seperti halnya Bumblebee, babak pertama plotnya lebih memberatkan pada karakter manusianya. Khususnya sosok Noah dengan problema keluarganya yang membuat mudah bagi kita untuk bersimpati. Relasi kuat dengan karakter manusia sayangnya tak berjalan lama, sesaat ketika Terrorcons tiba, di saat itu pula segalanya berubah total. Selain hanya pesona setting panorama pegunungan di Peru yang mengagumkan, sisanya hanya pertarungan tipikal khas serinya. Segmen klimaksnya yang heboh, lagi lagi tanpa jiwa, dengan dominasi efek visual yang amat melelahkan. Plot pun mudah terantisipasi dengan ancaman besar yang menggigit pun tidak karena ini adalah kisah prekuel. Seberapa pun genting situasinya, sesuatu yang besar tidak mungkin akan terjadi. Namun bagi target genrenya, (anak-anak/fansnya) bisa jadi bakal bersorak sorai.

Seperti tipikal seri sebelumnya, Transformers: Rise of the Beasts menawarkan segala gemerlap visual dengan aksi hebohnya, hanya kali ini melalui latar waktu dan setting yang berbeda. Tampak pula sebuah usaha memaksa untuk menghadirkan crossover dengan franchise populer lainnya kelak. Petunjuk ini pun tersaji dalam penghujung kisahnya. Mungkin bagi fansnya ini bakal mengejutkan. Rencana ini pun sebenarnya sudah gembar gembor sejak beberapa tahun silam. Bisa jadi kombinasi cerita menarik bakal terjadi, setidaknya tidak ada lagi pertarungan robot vs robot yang melelahkan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaInfluencer
Artikel BerikutnyaStar Syndrome
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.