Sebelum menonton, saya sama sekali belum tahu apapun tentang The Fabelmans. Namun sewaktu menonton dan melihat gelagat cerita, batin mulai bertanya, apakah ini kisah sang sineas sendiri? Lima puluh tahun lebih rentang karir sang legendaris, Steven Spielberg adalah salah satu sutradara terbaik yang dimiliki medium sinema. Dari Jaws, E.T, seri Indiana Jones, hingga seri Jurrasic Park adalah film-film yang mampu mengubah industri ke arah seperti sekarang. Juga yang mengubah karir saya seperti sekarang. Belasan karyanya tercatat sebagai masterpiece, dan kini Spielberg melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, yakni membuat film “biografi” tentang dirinya. Ini tentu menarik.

I can’t fight with your father. He kills me with such kindness.”

The Fabelmans adalah film drama semi-autobiografi yang diadaptasi lepas dari kisah sang sineas sendiri. Kisahnya ia tulis bersama penulis kolaboratornya, Tony Kushner. Tidak hanya Kushner, ia juga membawa tim kolaborator regulernya. Bagi para fans sejati sang sineas tentu sudah tak asing dengan nama-nama, Janus Kaminzky (sinematografer), Michael Kahn (editor), hingga tentu saja sang komposer kondang John Williams. Ibarat, mereka sudah mengenal betul luar-dalam sang sineas, dan tidak ada orang selain mereka yang mampu memahami Spielberg. Dengan bujet hanya USD 40 juta, Spielberg mengkasting beberapa nama tenar, Paul Dano, Michelle Williams, Judd Hirsch, serta pendatang baru Gabrielle LaBelle.

Alkisah Sammy (LaBelle) adalah putra dari pasangan Yahudi, Burt (Dano) dan Mitzi (Williams). Satu momen adegan kecelakaan kereta api dalam film The Greatest Show on Earth akhirnya membawanya pada kamera. Sejak saat itu, sang bocah terobsesi pada kamera dan mulai membuat film-film “iseng” bersama dua adik dan rekan-rekannya. Sammy yang beranjak dewasa ternyata memiliki talenta tinggi dalam membuat adegan-adegan film yang diadopsi dari film-film arahan sineas idolanya, John Ford. Sayangnya, di balik kamera, ia melihat fakta berbeda pada kehidupan keluarganya yang tidak harmonis serta tekanan sosial di sekolah karena ia seorang Yahudi.

Baca Juga  My Oni Girl

Bermodal rekan-rekan kolaboratornya yang mengenal baik sang sineas, segalanya menjadi tampak personal melalui pendekatan estetiknya. Naskahnya memang terasa panjang dengan durasi 2.5 jam yang secara rinci menyajikan momen-momen dramatiknya. Suatu pengadeganan seringkali terasa intim melalui dialog-dialog panjang dalam satu lokasi (ruang). Dominasi shot Kaminsky adalah shot dekat dibanding shot establish (jauh) yang lebih mendekatkan kamera ke karakternya sehingga terasa lebih personal. Sohib dekatnya, John Williams, tanpa oskestra penuh lazimnya, sepanjang film hanya menggunakan lantunan piano yang menguatkan mood dan intensitas dramatiknya, bahkan beberapa disajikan melalui permainan nondiegeticdiegetic.

Satu kekuatan lain juga diperlihatkan para pastingnya. Sang pendatang baru, Gabrielle LaBelle yang bermain sebagai “Spielberg”, mampu bermain sangat baik di antara kecanggungannya sebagai seorang minoritas, kompromi dengan konflik keluarganya, lalu passion-nya terhadap film. Lalu yang sangat mencuri perhatian tentunya, Michelle Williams yang bermain luar biasa sebagai sang ibu yang begitu rapuh dengan kondisi mental, di antara suami, putra-putri, dan sahabat suaminya. Jika ada peluang untuk mendapatkan Piala Oscar adalah untuk dua aktor-aktris ini, sekalipun Paul Dano juga bermain baik.

The Fabelmans bisa jadi bukan karya terbaik Spielberg, namun adalah yang paling personal dan passionate dengan dukungan teknis dari para kolaborator regulernya. The Fabelmans memang bukan film menghibur layaknya Jaws atau Raiders of the Lost Ark. The Fabelmans adalah juga bukan tontonan mudah untuk penonton awam dengan durasinya. Penikmat film dan fans Spielberg bakal menikmati betul film ini. Melalui ending-nya yang brilian, Spielberg bisa jadi telah menemukan cara untuk berdamai dengan kehidupannya. Sang dewa film (sineas western klasik ikonik) memberinya petunjuk untuk melihatnya melalui perspektif yang berbeda, dan Spielberg pun menggeser komposisi shot-nya pada shot penutup. What a film!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
95 %
Artikel SebelumnyaSlumberland
Artikel BerikutnyaKeramat 2: Caruban Larang
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses