The Omen (1976) pada eranya menjadi film horor supernatural sukses hingga telah diproduksi tiga sekuelnya hingga satu buah remake. Kini, The First Omen berkapasitas sebagai prekuel yang mengisahkan asal usul si anak iblis dalam seri pendahulunya. Film ini diarahkan oleh sineas yang belum banyak dikenal, Arkasha Stevenson dengan bermodal bujet USD 30 juta. Para pemain utamanya pun tercatat bukan bintang yang banyak dikenal, antara lain Nell Tiger Free, Nicole Sorace, Tawfeek Barhom, didukung aktor-aktris senior, Sônia Braga, Ralph Ineson, Bill Nighy, hingga Charles Dance. Akankah The First Omen memberi suntikan segar untuk franchise-nya?
Margareth (Free) adalah calon suster yang didatangkan dari AS ke Roma atas bimbingan mentornya Cardinal Lawrence (Nighy). Margareth ditempatkan di panti asuhan sebelum kelak ia disumpah menjadi seorang biarawati. Di sana, Margareth melihat satu gadis bernama Carlita yang diperlakukan berbeda dengan lainnya. Keanehan demi keanehan pun terjadi, puncaknya seorang suster membunuh dirinya sendiri dengan cara membakar diri. Margaret lalu mendapat tips dari pendeta senior bernama Brennan (Ineson) bahwa Carlita adalah bukan gadis seperti yang ia pikir, dan punya relasi dengan kelompok antichrist. Usut punya usut, di tengah situasi yang memanas, Margaret menemukan fakta besar yang tak terelakkan.
Bagi penikmat film yang sudah tahu persis seri The Omen pasti memahami betul karakter dan sosok si bocah iblis, Damien. Dengan segala kuasa gaib yang ia miliki, prekuelnya kini memberi penjelasan rinci dari mana sesungguhnya asal muasalnya. Plotnya sendiri bergerak seperti tipikal horor pada umumnya, dengan sentuhan masa kini (jump scare di beberapa momen). Plotnya mulai menarik, ketika sosok Pendeta Brennan muncul, membawa satu informasi kecil tapi membuat perubahan besar bagi kisahnya, dan sisi misteri maupun ketegangan makin meningkat. Kekuatan jahat mulai menyelimuti kisahnya, hingga satu twist plot menjelang penghujung membuat segalanya berubah. Penulis naskahnya rupanya berhati-hati sekali sehingga tidak menciderai plot film yang ada sebelumnya. Semua masih dalam track-nya, dan ini pun bukan suatu hal yang istimewa, namun juga tidak buruk.
Satu keunggulan utama The First Omen adalah setting dan ilustrasi musik. Entah bagaimana, rekayasa digital mampu menampilkan set Kota Roma era 1970-an dengan demikian natural dan menawan. Di luar plotnya, film ini juga mampu membangun kengerian melalui set “gothic” serta score-nya yang membuat bulu kuduk kita merinding. Nunasa score lawasnya masih bisa kita rasakan betul. Lalu, komposisi shot dan warna gambar pun tak jauh beda dengan film aslinya sehingga membuat nuansa nostalgia serasa kita tidak menonton film yang berselang 48 tahun. Satu lagi yang membuat film ini bukan untuk tontonan semua kalangan adalah beberapa adegannya yang disturbing. The First Omen bukanlah film slasher atau semacamnya, namun satu adegannya cukup untuk membekas kuat, selepas kita selesai menonton.
The First Omen, melalui plot dan pencapaian estetiknya mampu membawakan tone seri aslinya dengan begitu memikat. Satu lagi tak kalah mengesankan adalah permainan bintang pendatang baru Nell Tiger Free sebagai Margareth. Free mampu membawakan sosok Margareth yang traumatik dan mampu menggiring penonton menjadi bias terhadap karakter ini. Trauma, halusinasi, apa realitas? Semuanya terjawab dengan memuaskan. Ending yang membawa penonton pada opening The Omen (1976). The First Omen memang masih menyisakan banyak pertanyaan, namun untuk sebuah prekuel, film ini sudah cukup memuaskan.