The First Omen (2024)
119 min|Horror|05 Apr 2024
6.9Rating: 6.9 / 10 from 10,264 usersMetascore: N/A
A young American woman is sent to Rome to begin a life of service to the church, but encounters a darkness that causes her to question her faith and uncovers a terrifying conspiracy that hopes to bring about the birth of evil inca...

The Omen (1976) pada eranya menjadi film horor supernatural sukses hingga telah diproduksi tiga sekuelnya hingga satu buah remake. Kini, The First Omen berkapasitas sebagai prekuel yang mengisahkan asal usul si anak iblis dalam seri pendahulunya. Film ini diarahkan oleh sineas yang belum banyak dikenal, Arkasha Stevenson dengan bermodal bujet USD 30 juta. Para pemain utamanya pun tercatat bukan bintang yang banyak dikenal, antara lain Nell Tiger Free, Nicole Sorace, Tawfeek Barhom, didukung aktor-aktris senior, Sônia Braga, Ralph Ineson, Bill Nighy, hingga Charles Dance. Akankah The First Omen memberi suntikan segar untuk franchise-nya?

Margareth (Free) adalah calon suster yang didatangkan dari AS ke Roma atas bimbingan mentornya Cardinal Lawrence (Nighy). Margareth ditempatkan di panti asuhan sebelum kelak ia disumpah menjadi seorang biarawati. Di sana, Margareth melihat satu gadis bernama Carlita yang diperlakukan berbeda dengan lainnya. Keanehan demi keanehan pun terjadi, puncaknya seorang suster membunuh dirinya sendiri dengan cara membakar diri. Margaret lalu mendapat tips dari pendeta senior bernama Brennan (Ineson) bahwa Carlita adalah bukan gadis seperti yang ia pikir, dan punya relasi dengan kelompok antichrist. Usut punya usut, di tengah situasi yang memanas, Margaret menemukan fakta besar yang tak terelakkan.

Bagi penikmat film yang sudah tahu persis seri The Omen pasti memahami betul karakter dan sosok si bocah iblis, Damien. Dengan segala kuasa gaib yang ia miliki, prekuelnya kini memberi penjelasan rinci dari mana sesungguhnya asal muasalnya. Plotnya sendiri bergerak seperti tipikal horor pada umumnya, dengan sentuhan masa kini (jump scare di beberapa momen). Plotnya mulai menarik, ketika sosok Pendeta Brennan muncul, membawa satu informasi kecil tapi membuat perubahan besar bagi kisahnya, dan sisi misteri maupun ketegangan makin meningkat. Kekuatan jahat mulai menyelimuti kisahnya, hingga satu twist plot menjelang penghujung membuat segalanya berubah. Penulis naskahnya rupanya berhati-hati sekali sehingga tidak menciderai plot film yang ada sebelumnya. Semua masih dalam track-nya, dan ini pun bukan suatu hal yang istimewa, namun juga tidak buruk.

Baca Juga  The Swimmers

Satu keunggulan utama The First Omen adalah setting dan ilustrasi musik. Entah bagaimana, rekayasa digital mampu menampilkan set Kota Roma era 1970-an dengan demikian natural dan menawan. Di luar plotnya, film ini juga mampu membangun kengerian melalui set “gothic” serta score-nya yang membuat bulu kuduk kita merinding. Nunasa score lawasnya masih bisa kita rasakan betul. Lalu, komposisi shot dan warna gambar pun tak jauh beda dengan film aslinya sehingga membuat nuansa nostalgia serasa kita tidak menonton film yang berselang 48 tahun. Satu lagi yang membuat film ini bukan untuk tontonan semua kalangan adalah beberapa adegannya yang disturbing. The First Omen bukanlah film slasher atau semacamnya, namun satu adegannya cukup untuk membekas kuat, selepas kita selesai menonton.

The First Omen, melalui plot dan pencapaian estetiknya mampu membawakan tone seri aslinya dengan begitu memikat. Satu lagi tak kalah mengesankan adalah permainan bintang pendatang baru Nell Tiger Free sebagai Margareth. Free mampu membawakan sosok Margareth yang traumatik dan mampu menggiring penonton menjadi bias terhadap karakter ini. Trauma, halusinasi, apa realitas? Semuanya terjawab dengan memuaskan. Ending yang membawa penonton pada opening The Omen (1976). The First Omen memang masih menyisakan banyak pertanyaan, namun untuk sebuah prekuel, film ini sudah cukup memuaskan.  

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Wages of Fear
Artikel BerikutnyaSineas Merdeka: Bersinergi dalam Film dengan Merdeka di Malang
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.