Ip Man 4: The Finale (2019)
107 min|Action, Biography, Drama|20 Dec 2019
7.0Rating: 7.0 / 10 from 37,028 usersMetascore: 62
The Kung Fu master travels to the U.S. where his student has upset the local martial arts community by opening a Wing Chun school.

Ip Man 4: The Final merupakan seri ke-4  semibiografi master Wing Chun, Ip Man yang kembali dibintangi aktor laga kawakan, Donnie Yen. Sejak rilis Ip Man (2008) lebih dari satu dekade lalu, telah disajikan kisah sosok sang master dari masa ke masa, dan kini adalah seri penutupnya. Seri keempat ini, seperti 3 seri sebelumnya, kembali diarahkan oleh Wilson Yip dengan bujet terhitung besar, yakni USD 52 juta.

Alkisah sepeninggal istrinya, di hari tuanya, sang master kini tinggal bersama putranya. Vonis penyakit yang dideritanya sebagai perokok berat, membuatnya menolak untuk menghadiri undangan muridnya, Bruce Lee ke Amerika. Namun, keinginannya untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri, akhirnya memaksanya untuk terbang ke negeri Paman Sam untuk bertemu sang murid. Di sana, ia harus melihat kenyataan bahwa warga Cina sebagai minoritas ternyata mendapatkan perlakuan tak adil dari warga kulit putih. Sekali lagi, sang master menggunakan kemampuan bela dirinya untuk melawan musuh-musuhnya.

Sejak film bermula, saya merasakan kejanggalan dari sosok sang aktor yang rasanya masih terlalu muda untuk memerankan sosok Ip tua. Dari seri ke seri, sosok sang aktor tak terlihat perubahan yang siginifkan, hanya kini tampak sedikit uban di rambutnya yang tetap saja tidak membuatnya terlihat lebih tua. Ip dan Lee, lebih tampak seperti kakak adik ketimbang guru dan murid. Okelah, untuk tujuan target penontonnya, faktor ini kita abaikan saja. Toh, ini juga bukan biografi murni.

Dibandingkan seri-seri sebelumnya, sisi manusiawi sang tokoh kini lebih dominan terlihat. Penonton (fans) diingatkan jika sosok tanpa tanding ini juga ternyata manusia biasa yang bisa sakit. Ia ternyata juga masih egois memaksakan anaknya untuk bersekolah. Petualangan di akhir hidupnya dan fakta yang terjadi di negeri seberang ternyata kembali mengusik rasa keadilannya yang sekaligus membuatnya lebih bijak melihat dunia di masa kini. Chemistry antara Ip dengan sang gadis remaja, Yonah, terasa begitu hangat sekalipun hanya beberapa momen saja. Sesuatu yang tak pernah ada dalam seri sebelumnya. Namun memang dalam banyak momen, sisi pelecehan terhadap kaum minoritas digambarkan sedikit berlebihan.

Baca Juga  Along with the Gods: The Two Worlds

Dalam perkembangan cerita, namanya juga aksi laga, beberapa plot memang terasa sedikit memaksakan untuk memunculkan adegan aksi (seperti seri-seri sebelumnya), khususnya pada separuh akhir cerita. Satu segmen bahkan menampilkan aksi penuh, sang murid menghajar satu kelompok beladiri pesaingnya. Ini jelas untuk penonton bukan motif kisahnya, berbeda ketika Ip memberi pelajaran teman-teman Yonah di sekolah. Semua setelah separuh akhir adalah untuk penonton, banyak tak logis memang, tapi bukannya tidak bisa kita nikmati. Seperti sebelumnya, segmen aksi seri Ip Man adalah salah satu yang terbaik sejak seri Kung-Fu Master yang dibintangi Jet Li. Namun, dari semua koreografi aksi yang menawan dalam film ini, jujur saja, adegan adu tenaga dalam di meja makan bagi saya adalah yang terbaik.

Satu lagi yang bisa saya nikmati dalam film penutup ini adalah setting dan tone warna filmnya. Layaknya film-film produksi Hollywood mapan, film ini dengan begitu mengesankan mampu menggambarkan setting kota San Fransisco dan sekitarnya pada era 1960-an, baik eksteriror maupun interior. Walau terlihat sekali menggunakan studio untuk beberapa segmen eksteriornya, namun tata pencayahaan dalam banyak adegannya tampak mengagumkan, seperti ketika Bruce Lee beraksi di jalanan dan gang kota. Rasanya dari sisi capaian teknis ini, seri keempat adalah yang terbaik.

Dengan pengembangan kisah yang rada memaksa, IP Man 4: The Final, rasanya bakal memuaskan para fansnya dengan sekuen aksinya, setting San Fransisco yang menawan, serta sosok Bruce Lee. Walau Donnie Yen mengatakan ini adalah seri penutup, bukan tidak mungkin kisah prekuel atau spin-off, sosok ini bakal masih dimunculkan. Yen sendiri pernah mengatakan hal yang sama ketika rilis seri kedua, namun faktanya? Siapa yang tak suka dengan sosok legendaris ini beraksi dan dengan karismanya Yen mampu menampilkannya dengan sempurna. Dengan kekuatan akting sang pemain dan potensi kisahnya, seri ini sebenarnya masih sangat mampu untuk menghadirkan satu tontonan aksi yang berkelas dengan kisah menyentuh serta sisi humanis yang kuat.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaSpies in Disguise
Artikel BerikutnyaAshfall
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.