fenoma vina sebelum 7 hari

Ditulis oleh:

Purwoko Ajie

“Kebohongan kecil akan ditutupi oleh kebohongan yang besar, kebohongan besar hanya bisa ditutupi oleh kebohongan yang lebih besar lagi, sampai akhirnya kebohongan itu sendiri bercerita tentang kebohongan itu sendiri.”

— Otto Hasibuan (Setiawan, 2024) —

 

Jagad dunia fana dan dunia maya di Indonesia diguncang dengan munculnya film Vina: Sebelum 7 Hari (Umbara, 2024). Sebuah film yang menjelaskan fenomena kisah nyata terbunuhnya Eky (dengan karakter Zaki diperankan Yusuf Mahardika) dan kekasihnya, Vina (diperankan Nayla D. Purnama), mengoyak sisi humanis penonton yang telah menontonnya. Tidak hanya rasa simpati atas meninggalnya dua sejoli (Eky dan Vina), alih-alih geram dengan para pelaku, saat ini kondisi sosial masyarakat justru berubah 1800  dan menaruh rasa empati bagi 7 terpidana yang divonis seumur hidup dibalik jeruji besi. Lalu, apakah gerangan yang terjadi?

Film Vina: Sebelum 7 Hari bisa jadi titik mula terbongkarnya sebuah kasus hukum “peradilan sesat” yang terjadi di Indonesia pada era modern saat ini. Walaupun, sejatinya film ini bukanlah satu-satunya yang menjadi viral dan kemudian dilakukan penyelidikan ulang, rasanya film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso (Sixsmith, 2023) juga mendapatkan atensi luas di masyarakat. Jika kita flashback ulang, kasus dan fenomena ini muncul secara berentetan di tahun 2016, namun terjadi perbedaan perilaku yang mana kasus Eky dan Vina disidangkan dengan tertutup rapat, sedangkan kasus Jessica Wongso disidangkan secara terbuka, bahkan dapat “dinobatkan” sebagai kasus hukum pertama di Indonesia yang disiarkan live esklusif di banyak stasiun televisi nasional (Pratama, 2016). Kembali ke topik, lalu fenomena macam apakah yang terjadi di tahun 2024 ini? Mengapa perlakuan berbeda justru terjadi pada tahun 2016 silam? Apakah film Vina: Sebelum 7 Hari dapat dijadikan refleksi yang retoris atas pertanyaan-pertanyaan ambigu tersebut?

[Disclaimer, tulisan ini sebagai bentuk kritik film antara subjek film dan fenomena-fenomena pasca film Vina tayang di bioskop sebagai bentuk keberimbangan informasi dan tidak berpihak pada pihak manapun.]

Menyibak Kontras antara Spiritualitas dan Kesurupan

Film Vina: Sebelum 7 Hari merupakan film dari sutradara Anggy Umbara dan diproduseri oleh Dheeraj Kalwani dibawah naungan rumah produksi Dee Company. Kisah ini bermula ketika Vina dan Zaki, ditemukan tewas secara mengenaskan pada tahun 2016. Pada awalnya, keluarga menduga mereka meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Namun, berbagai kejanggalan yang muncul kemudian membuat pihak kepolisian memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Beberapa hari setelah kematian Vina dan Zaki, keluarga Linda (diperankan Gisellma Firmansyah) mengutus Deden (diperankan Ozan Arkananta) untuk berkomunikasi kepada keluarga Vina dan meminta mereka datang ke rumahnya. Dalam pertemuan tersebut sahabat Vina, Linda secara tiba-tiba kerasukan arwah Vina dan menceritakan kronologi kejadian secara runut. Arwah Vina mengungkap bahwa ia dan Zaki diserang oleh sekelompok anggota geng motor dan dibawa ke jalan layang Talun. Di tempat inilah Vina mulai disiksa secara brutal. Terungkap juga bahwa Vina sempat dirudapaksa secara bergiliran oleh para pelaku dan rekan-rekannya. Ironisnya, salah satu pelaku adalah Egi (diperankan Fahad Haydra), yang ternyata pernah menyimpan perasaan pada Vina.

Seorang jurnalis, Dani (diperankan Imran Ismail), merasa ada keanehan dan kejanggalan dalam peristiwa meninggalnya Zaki dan Vina. Dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan secara mandiri. Disisi lain, Linda membaca surat dari Vina yang diberikan sebelum kematiannya, dan dari surat tersebut, terlihat Vina mengalami perundungan dari teman-teman sekolahnya. Dani melanjutkan investigasinya ke rumah Linda, mendapatkan informasi siapa sebenarnya Egi, orang yang suka dengan Vina, dimana sering berinteraksi secara langsung dengan Vina dan Linda selepas pulang sekolah. Namun, hal inilah yang menjadi pemicu kemarahan Tika, kekasih dari Egi. Kejadian ini menjadi rangkaian peristiwa yang mengakibatkan Vina mendapatkan perundungan secara fisik hingga rambutnya dinodai dengan permen karet.

Dari runutan cerita diatas, motif dan konflik yang coba dibangun sutradara dalam film adalah perundungan atas diri Vina. Perundungan masih menjadi hal yang traumatis bagi siapa saja yang mengalaminya. Salah satu gejala psikologis yang paling jelas pada korban bullying adalah depresi (Wang, 2023). Terdapat berbagai bentuk bullying, termasuk bullying verbal, fisik, sosial, dan emosional. Bullying verbal dilakukan dengan cara menghina, mengancam, serta melecehkan korban menggunakan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. Sementara itu, bullying fisik melibatkan tindakan seperti memukul, menendang, dan menarik rambut korban (Agisyaputri et al., 2023; Safaat, 2023). Vina sendiri bercerita kepada neneknya (diperankan Lydia Kandou), bahwa disekolah dia sering mendapatkan perundungan karena dirinya “cantik”. Nenek menyarankan Vina untuk melawan, sebagai bukti bahwa Vina tidak tinggal diam atas aksi perundungan tersebut. Scene lain yang menunjukkan “perlawan” terlihat saat Vina berada di toilet setelah melakukan kontes model di sebuah Mall. Di tempat ini, tiba-tiba Egi bersama geng motornya masuk dan menghadang Vina. Setelah berdebat panjang lebar, Vina langsung meludahi Egi, yang dibalas dengan reaksi dingin Egi. Rasanya, kepribadian Vina sebagai seorang wanita yang digambarkan dalam Vina merupakan korban perundungan yang justru tangguh, nekat, tahan banting & sangatlah pemberani.

Pola penceritaan flashback yang digunakan dalam Vina: Sebelum 7 Hari cukuplah efektif dalam mengatur plot cerita. Setelah kematian Vina, proses penyelidikan baik Polisi, yang diwakilkan dengan keberadaan AKBP Indra (diperankan oleh Eduward Manalu) dan Dani masih terus berjalan. Dani sebagai seorang jurnalis menaruh kejanggalan diawal kemunculannya di TKP kematian Zaki dan Vina, dimana dia justru mendapatkan pengusiran dari AKBP Indra. Begitu juga saat kemunculannya di kantor polisi, disaat Marliana (kakak Vina diperankan Delia Husein) dan Neneknya ingin mengambil barang-barang dari almarhumah Vina. Film dengan gaya investigasi memang cocok diterapkan dalam film Vina, namun terlalu banyak sudut pandang yang ingin disampaikan. Jika saja sudut pandang diambil dari Dani (sisi investigasi) dan Linda (sisi supranatural), akan jauh lebih ciamik daripada memaksa menggunakan sudut pandang Nenek, Kakek, bahkan tokoh Vina sendiri.

Berbicara soal make up, rasanya ada sedikit ketidakkonsitenan dalam luka yang divisualkan, terkadang muncul luka di wajah Linda, terkadang bersih saja tanpa luka. Padahal kondisi masih dalam kesurupan arwah Vina. Beda angle kamera, beda make up-nya. Dukungan dari sisi pencahayaan yang gloomy dan pengambilan gambar extreme close up, menunjukkan bahwa ada yang ditegaskan dari rasa sakit dan derita yang dirasakan Vina. Sayang, semua menjadi datar karena adegan kesurupan yang seharusnya menjadi sentral, justru kurang menggigit.

Rasanya dialog-dialog yang disajikanpun kurang greget, salah satu contohnya ada pada adegan kesurupan, terdapat kata-kata “…Engga, mati, semua mati!!!”, teriak arwah Vina melalui perantara tubuh Linda. Apakah fenomena kesurupan oleh arwah Vina dapat dianggap sebagai kejadian yang benar-benar terjadi, dan apakah mungkin bahwa arwah tersebut mampu menggambarkan secara detail setiap peristiwa, kronologi, serta pelakunya? Selain itu, apakah mungkin dibenarkan bahwa arwah Vina, seperti layaknya dalam film-film yang dibintangi Suzzanna, Bangsal 13 (2004), atau seperti Munkar (2024), dapat melakukan tindakan kekerasan terhadap pelaku dengan cara yang sadisme dan brutal sebagaimana ditampilkan dalam adegan-adegannya? Walaupun sulit dibayangkan, namun yang disajikan memang demikian.

Film Vina tidak dapat disebut sebagai dokudrama sepenuhnya, walaupun di-ending film ini menambahkan footage kesurupan yang terjadi pada Linda. Menurut Himawan Pratista (2023), Plot dokudrama umumnya menyoroti latar belakang dan proses terjadinya suatu peristiwa hingga mencapai klimaks. Seperti dalam biografi, keakuratan penuh dalam dokudrama tidak dapat sepenuhnya dijamin, dan elemen dramatisasi sering kali tidak terhindarkan. Namun, riset yang komprehensif tetap diperlukan sebagai landasan dalam penulisan skenario untuk menjaga integritas naratif (Pratista, 2023). Sayangnya, riset tidak dilakukan secara maksimal. Hal tersebut terlihat dari bantahan Linda (teman asli Vina) yang mengaku tidak diajak komunikasi dalam membangun kisah Vina dari perspektifnya, begitu juga terhadap Widia dan Mega, yang mana masih berkomunikasi di menit-menit terakhir sebelum meninggalnya almarhumah Vina. Maka, muncullah kisah Vina yang kita tonton di bioskop saat ini. Apakah kisah ini sesuai dengan fakta? Atau justru sudah terdapat banyak penambahan dalam ceritanya? Rasanya penonton awam cukup sulit untuk membedakannya.

Pasca film Vina tayang dan kemudian menelaah peristiwa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosial masyarakat saat ini, rasanya cukup menggelitik bahwa film ini diadopsi dari “kesurupan arwah Vina” yang terjadi pada tubuh Linda. Kembali pada konsep antara spiritualis dengan kesurupan, dapat dikatakan bahwa dua konsep ini cukup berbeda dan sering kali bertentangan, yaitu spiritualitas (yang umumnya dilihat sebagai hal positif dan terarah) dan kesurupan (yang sering dilihat sebagai hal negatif dan tidak terkendali). Menurut pandangan Sigmund Freud, gangguan disosiasi terjadi karena adanya konflik-konflik yang tidak terselesaikan dan tersimpan dalam alam bawah sadar. Ketika ada pemicu tertentu, konflik-konflik tersebut muncul ke permukaan dan diekspresikan melalui perilaku yang dapat diamati, yang dikenal sebagai kesurupan. Gangguan ini termasuk dalam kategori gangguan mental yang disebut Dissociative Trance Disorder (DTD)(Irkani, 2019). Bisa jadi, dengan berjalannya kasus ini, Linda mengalami traumatik masa lalu yang mengakibatkan kesurupan terjadi. Sehingga, dapat diartikan bahwa roh tidak dapat dipertanggungjawabkan atas ucapan atau tindakannya. Cukup masuk akal apabila diawal film Vina dikatakan ada penambahan bumbu-bumbu untuk mendramatisir cerita, maka penonton sendirilah yang harus cerdas untuk menilainya.

Viral melalui Media Sosial

Sesuai dengan genre yang dilabelkan, bahwa film Vina: Sebelum 7 Hari ditujukan sebagai film ber-genre horor. Tidak seperti film horor Indonesia lazimnya yang selalu menyajikan urban legend sebagai pijakan kisahnya, sebut saja sundel bolong, kuntilanak, pocong, genderuwo, dan lain sebagainya. Sehingga, Vina hanyalah “arwah penasaran” yang meneror pelaku utamanya. Film Vina diangkat dari kisah yang pernah viral di tahun 2016, namun bukanlah film satu-satunya yang berhasil diangkat dari kisah viral di sosial media. Sebut saja KKN di Desa Penari (2022) yang juga difilmkan dan diangkat dari tweet Simple Man di Twitter (sekarang X).

Baca Juga  Jurassic Worst

Film horor masih menjadi primadona untuk pasar Indonesia. Penerimaan yang luas terhadap film-film horor di kalangan masyarakat Indonesia, menurut Punjabi (2023), berkaitan erat dengan budaya yang kuat dalam mempercayai fenomena mistis. Sejak masa kanak-kanak, banyak individu di Indonesia telah diperkenalkan dengan berbagai cerita mengenai makhluk supranatural, seperti ratu pantai selatan, genderuwo, kuntilanak, kalong wewe, tuyul, dan babi ngepet, yang kemudian membentuk persepsi mereka terhadap dunia mistis (Budiman, 2023). Film Vina setidaknya berhasil memperoleh 5.815.403 di hari ke-41 penayangannya (Kusuma, 2024). Film ini menjadi film horor karya Anggy Umbara ke-8, sebelumnya ia menggarap Suzzanna: Bernapas dalam Kubur kolaborasi dengan Rocky Soraya (2018), Satu Suro (2019), Si Manis Jembatan Ancol (2019), Khanzab (2023), Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri (2023), Siksa Neraka (2023), hingga Munkar (2024). Suksesnya film Vina tidak dapat dilepaskan dari viral di sosial media yang mengundang polemik, baik pro dan kontra. Alih-alih mendapatkan pujian, film Vina justru mendapatkan respon kurang sedap karena mengeksploitasi kisah almarhumah yang seharusnya mendapatkan simpati. Salah satunya adalah aktivis perempuan, Tunggal Pawestri, menyatakan bahwa para pembuat film dan lembaga sensor harus juga mempertimbangkan sensitivitas terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual, tidak hanya menilai kelayakan sebuah adegan berdasarkan pedoman saja (BBC News, 2024).

Besarnya animo masyarakat luas atas film Vina, tidak dapat dilepaskan atas peran sosial media saat ini. Selain karena kisahnya yang bak ditelan bumi setelah 8 tahun silam, akhirnya kembali muncul ke permukaan dengan segudang masalah baru. No Viral, No Justice! Sebuah perumpamaan yang tepat untuk menjelaskan fenomena penanganan kasus hukum yang terjadi di Indonesia saat ini. Pasca viralnya film Vina, kekuatan solid netizen ternyata mampu mengetuk hati aparat penegak hukum untuk membuka kembali kasus Vina dan Eky. Berbekal film Vina ini, dengan video “kesurupan Linda”, dan bergeraknya hati seorang pengacara kondang, Hotman Paris, ternyata membuat Kepolisian RI kembali membuka tabir 3 Daftar Pencarian Orang (DPO) yang selama 8 tahun hilang entah rimbanya. Namun, rupanya masih saja salah target, lepasnya sosok otak pelaku Pegi alias Perong, yang ditersangkakan kepada Pegi Setiawan, justru terbantahkan dan menang di sidang Praperadilan.

Fakta tanpa Scientific Crime Investigation (SCI)?

Salah satu dialog yang menarik dalam film Vina, adalah pernyataan dari tantenya Linda, Hesti (diperankan oleh Niniek Arum), mengatakan kepada Dani bahwa “…Arwah Vina, punya waktu 7 hari untuk menyelesaikan semua masalahnya yang tertinggal… Bisa dendam, kemarahan, menuntut keadilan, penasaran, atau sesuatu yang tidak seharusnya dikubur bersama kuburnya”. Dari pernyataan ini, unsur klenik sangatlah kuat, didukung dengan karakter Hesti yang sangatlah mistis, memiliki sumber untuk beinteraksi dengan makhluk ghaib. Hal ini didukung dengan property-property yang ada di salon miliknya, yang secara logika kurang masuk akal karena berada di sebuah Mall yang besar. Jikalau benar arwah Vina dapat memberikan petunjuk-petunjuk dalam membongkar kasus kematiannya, mengapa dia harus merasuki tubuh Linda untuk menyampaikan siapa para pelakunya? Bukankah arwah Vina sendiri yang menghantui Egi, bahkan bisa meneror dan menyiksanya secara brutal?

Keberadaan Dani sebagai jurnalis investigasi secara mandiri, rasanya sedikit useless. Pada momen tertentu, ketika keluarga Vina atau Linda sedang inframe, dia datang dengan penuh curiga dan rasa ingin tahunya. Hal ini dirasa kurang tepat apabila dia melakukan ivestigasi untuk mencari bukti dan fakta, karena pada dasarnya kecurigaan yang dibawa masih membawa asumsi-asumsi. Salah satunya ketika mengatakan “ini pembunuhan, bukan kecelakaan tunggal!” dihadapan keluarga Vina dan polisi yang sedang olah TKP. Namun, dia tidak membawa dan menunjukkan bukti pembanding sama sekali.

Alkisah, Dani ternyata adalah adik dari Polisi yang menangani perkara, yang mana adalah AKBP Indra sendiri. Dalam film Vina dijelaskan bahwa polisi telah mengantongi nama-nama para tersangka tidak lebih dari 48 jam kepada keluarga Vina. Yang lebih menggelitik lagi, pernyataan kesurupan Linda atas arwah Vina, memiliki kesesuaian dengan nama-nama tersangka yang sudah mereka miliki. Mungkinkah kesurupan dapat dijadikan alat bukti, di BAP dan dihadirkan dalam persidangan? Rasanya semua serba nanggung dan janggal.

Vina dan Zaki, mendapatkan penyiksaan yang brutal, sadis, dan biadab dalam film. Bahkan, harus disiksa dengan balok, batu, dirudapaksa, hingga dilindas motor. Lalu, bagaimanakah cara polisi mengungkap kebenarannya? Scientific Crime Investigation (SCI) merupakan suatu pendekatan dalam pembuktian pidana yang menggunakan metode ilmiah berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Pada intinya, SCI melibatkan rangkaian prosedur penyidikan kejahatan yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti serta mengungkapkan fakta-fakta terkait dalam suatu kasus (Alma et al., 2023). Scientific Crime Investigation (SCI) seperti sidik jari, komunikasi elektorik, footage rekaman CCTV, dan para saksi-saksi apakah sudah berkesesuaian? Tidak digambarkan secara jelas dan pasti dalam film Vina, justru hanya sisi supranatural yang ditonjolkan dan bukan sisi investigasinya.

Sepertinya, film The Blair Witch Project (1999) disajikan sepenuhnya dalam gaya dokumentasi, yang kemudian menjadi pelopor genre found footage. Sementara itu, terdapat juga film Paranormal Activity (2007) yang mengisahkan ceritanya melalui rekaman-rekaman dari kamera CCTV dan footage lainnya. Namun, cerita Vina: Sebelum 7 Hari cenderung melihat sisi dari pihak Vina dan keluarganya saja. Bukti rekaman CCTV jembatan layang Talun sebagai bukti footage otentiknya justru tidak ada. Hanya suara kesurupan Linda saja yang ditayangkan di ending film. Mungkin hanya itu footage asli yang dapat dihadirkan pada film ini.

Peran Dani, sebagai jurnalis yang ingin mencoba membongkar fakta dalam kasus Vina, seyogyanya berperan seperti layaknya Dedi Mulyadi di dunia nyata. Dedi Mulyadi, merupakan sosok yang menginvestigasi kasus Vina dan Eky secara langsung pasca film Vina viral dan menimbulkan polemik. Ia dengan sukarela menghadirkan dan menemui berbagai pihak, baik keluarga terpidana, keluarga korban, bahkan hingga sekarang masih banyak saksi-saksi yang terus bermunculan di kanal akun Youtube-nya Kang Dedi Mulyadi (link: https://www.youtube.com/channel/UCopjJE-RzBmv4MID-E1Oiyg). Tujuannya adalah satu, “mengungkap kebenaran dan keadilan”. Walaupun, banyak pihak yang mencibir karena diindikasikan kampanye terselubung menuju Pemilihan Gubernur Jawa Barat, rasanya apa yang dilakukan perlu didukung dan diapresiasi.

Pasca tayangnya film Vina ini, masih segar diingatan masyarakat akan kasus Sambo yang membuat heboh satu negara, akhirnya dapat terbongkar dengan bukti-bukti yang rasional melalui Scientific Crime Investigation di persidangan. Lebih mendekati lagi, film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso (Sixsmith, 2023), yang mana filmnya viral dan mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat untuk membebaskan Jessica Wongso yang divonis 20 tahun penjara melalui Peninjauan Kembali (PK). Dibukanya kasus Vina, menjadi harapan untuk keadilan hukum bagi rakyat kecil, khususnya 7 terpidana yang secara eksplisit disebutkan nama-namanya dan mendapatkan vonis hukuman seumur hidup. Semoga kasus Sengkon & Karta yang pernah terjadi tahun 1974 silam, selayaknya tidak terulang lagi di era modern saat ini.

Rasanya, sudah menjadi hukum kausalitas bahwa setelah kesuksesan film Vina, akan banyak bermunculan film-film nasional serupa yang mengangkat peristiwa tragis dan memilukan sebagai sebuah formula. Alangkah lebih baik, film yang bernuansa investigasi menyelesaikan proses investigasnya hingga tuntas terlebih dahulu, sehingga kemasannya akan jauh lebih menarik dan menjual. Akankah kasus Vina dan Eky dibuat kembali dalam film sesuai dengan alur cerita dan proses hukum yang masih berjalan hingga saat ini? Mari kita nantikan kelanjutannya.

Film Vina: Sebelum 7 Hari bukanlah film terbaik di genre-nya, namun secara moral menjadi pemicu pengungkapan fakta sosial dan tegaknya keadilan hukum yang sebenarnya, terlepas dari semua pro dan kontra yang membayanginya.

 

Judul: Vina: Sebelum 7 Hari | Tahun Rilis: 2024 | Durasi: 100 menit | Sutradara: Anggy Umbara | Penulis: Bounty Umbara & Dirmawan Hatta | Produser: Dheeraj Kalwani | Rumah Produksi: Dee Company | Negara: Indonesia | Pemeran: Nayla D. Purnama, Yusuf Mahardika, Gisellma Firmansyah, Pritt Timothy, Lydia Kandou, Septian Dwi Cahyo, Delia Husein, Fahad Haydra,

 

REFERENSI

Agisyaputri, E., Nadia Aulia, N., & Saripah, I. (2023). Identifikasi Fenomena Perilaku Bullying pada Remaja. Jurnal Bimbingan dan Konseling, 3, 19–30.

Alma, P. P. T., Sugiartha, I. N. G., & Wirawan, K. A. (2023). Analisis Pemeriksaan Alat Bukti Melalui Metode Scientific Crime Investigation Dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Pembunuhan di Polresta Denpasar. Jurnal Analogi Hukum, 5(3), 363–369. https://doi.org/10.22225/ah.5.3.2023.363-369

BBC News. (2024). Film Vina: Sebelum 7 Hari menuai kontroversi di media sosial – Mengapa adegan kekerasan seksualnya tidak disensor? BBC News Indonesia. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51n4e11gxro

Budiman, A. (2023). Indonesia Suka Film Horor, Mengapa? VOA Indonesia. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-suka-film-horor-mengapa-/7181230.html

Irkani, S. (2019). Fenomena Kesurupan dalam Persepsi Psikolog dan Peruqyah. Jurnal Studia Insania, 6(2), 108. https://doi.org/10.18592/jsi.v6i2.2208

Kusuma, A. I. (2024). Film Vina Pamit, Jadi Film Terlaris Kedua di 2024 yang Raih 5,8 Juta Penonton. Kompas.com. Retrieved from https://www.kompas.tv/entertainment/516329/film-vina-pamit-jadi-film-terlaris-kedua-di-2024-yang-raih-5-8-juta-penonton

Pratama, S. I. (2016, September 26). Kala Siaran Langsung Sidang Jessica Digugat. Hukumonline.com. Retrieved from https://www.hukumonline.com/berita/a/kala-siaran-langsung-sidang-jessica-digugat-lt57e858cf270d9/

Pratista, H. (2023). Memahami Film (A. D. Nugroho (ed.); 2nd ed.). Yogyakarta: Montase Press.

Safaat, R. A. (2023). Tindakan Bullying di Lingkungan Sekolah yang Dilakukan Para Remaja. Jurnal Global Ilmiah, 1(2), 97–100. https://doi.org/10.55324/jgi.v1i2.13

Setiawan, M. D. (2024). Otto Hasibuan soal Kasus Vina-Eky: Jangan sampai Kebohongan Kecil Ditutupi Kebohongan Besar. Tribunnews. Retrieved from https://www.tribunnews.com/nasional/2024/08/02/otto-hasibuan-soal-kasus-vina-eky-jangan-sampai-kebohongan-kecil-ditutupi-kebohongan-besar

Sixsmith, R. (2023). Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso. Netflix. Retrieved from https://www.netflix.com/title/81467099

Umbara, A. (2024). Vina: Sebelum 7 Hari. Dee Company. Retrieved from https://filmindonesia.or.id/film/lf-v016-24-147352

Wang, J. (2023). The Impacts and Interventions of School Bullying. In J. Rak (Ed.), SHS Web of Conferences (Vol. 157, pp. 1–5). https://doi.org/10.1051/shsconf/202315704023

Artikel SebelumnyaAlien: Romulus
Artikel BerikutnyaAutobiography: Lokalitas Didera Bahasa
Purwoko Ajie or better known as Puralexdanu Patjingsung was born in Ciamis, West Java, on October 13, 1995. He studied at the Television and Film Study Program from 2015 to 2019 at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Surakarta. He has continued his Postgraduate studies at the Cultural Studies Program, Faculty of Cultural Science, Sebelas Maret University, Surakarta, from 2022 until 2024. During college, he was more active in the world of writing, both independent books, film scripts, and cultural studies journals, especially research in films (Google Scholar link: https://scholar.google.com/citations?user=I6nkRJIAAAAJ&hl=id&oi=ao). The first books he wrote were novels based on his personal stories, such as “Cinta Piramida” (2015) and “From Something To Nothing” (2018), published independently. He became one of the authors of a book about films entitled “30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018”, published collectively by Montase Press. Several scientific journals have also been written and published in national and international journals. He is also occasionally active in the production of short fiction and documentaries. He has loved the world of film since childhood; his first film was made in junior high school in 2009, entitled “Salah Pelet”. In 2016, with his university colleagues, he made a short film entitled “Dakoen Doerang (Past & Now)”. This film is the first time it has been brought to an international film festival in the World Cinema, International Children Film Festival 2018 in India. Then in early 2018, he also produced a documentary entitled “Teguh Between The Collapse of Gemstone”, and in the same year, it was also appreciated at various international festivals. Now he continues to focus on learning to write script, make short films, and focus on cultural studies that discuss films.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.