Setelah bertemu dua sosok pahlawan super dalam jagat Bumilangit dari kalangan orang dewasa lewat Gundala dan Sri Asih, kini giliran Virgo and the Sparklings membawakan nuansa anak mudanya. Melalui arahan Ody C. Harahap, naskahnya digarap oleh Rafki Hidayat dan Johanna Wattimena dengan konsep dari Is Yuniarto. Tiga nama yang sama-sama belum lama menulis film panjang. Lain halnya dengan rekam jejak sang sutradara sejak 2004. Ceritanya sendiri diadaptasi dari Webtoon karya Annisa Nisfihani dan Ellie Goh, dengan karakter ciptaan Jan Mintaraga.
Masih dengan Joko Anwar sebagai salah satu supervisi lewat produksi Bumilangit Studios, Legacy Pictures, dan Screenplay Films. Para pemeran film musikal, aksi, dan superhero remaja ini antara lain Adhisty Zara, Ashira Zamita, Satine Zanita, Rebecca Klopper, Aida Nurmala, Bryan Domani, dan Mawar Eva de Jongh. Setelah dua film sebelumnya tampil mengecewakan, bagaimana dengan satu ini?
Tumbuh besar dan bersekolah dengan “normal” selayaknya remaja SMA kebanyakan nyatanya tak mudah bagi Riani (Zara). Ada perbedaan bawaan lahir yang menyertainya ke mana pun. Kelainan ajaib sekaligus membahayakan nyawanya sendiri. Walau dengan semua itu, Riani adalah sosok periang nan santai dan ceria. Dia juga bersahabat dengan Monica (Ashira), Ussy (Satine), dan Sasmi (Rebecca), serta membentuk satu kelompok musik bersama. Namun, kegelapan yang mengancam seisi kota menyeretnya terlibat dalam kekacauan untuk melawan sumbernya.
Bak melompat ke latar cerita berbeda, Virgo and the Sparklings sangat kontras dengan pembawaan Sri Asih dan Gundala. Berbalut keceriaan, canda-tawa, bumbu-bumbu perundungan, pembangkangan dari orang tua, aktivitas bermusik lewat grup band, serta perilaku dan persahabatan remaja SMA. Segala isu berat yang dengan paksa dikampanyekan dalam Gundala maupun Sri Asih tak ada dalam Virgo. Kita hanya akan menjumpai masalah khas anak-anak muda dalam lingkungan pergaulan mereka dan upaya memperbaiki komunikasi dengan orang tua. Meski masih terhitung mengandung banyak konten, tetapi minimal Virgo lebih mendingan ketimbang Sri Asih. Terlepas pula dari banyak atau tidaknya perbedaan antara versi adaptasi dengan Webtoon-nya.
Para penulis, sutradara, maupun supervisi skenario Virgo and the Sparklings sendiri tampaknya berupaya keras mengaitkan kehadiran tokoh-tokoh Bumilangit lainnya ke dalam cerita. Kita tahu tema film ketiga BLU ini punya visual yang berlainan dengan dua film sebelumnya. Jadi satu-satunya cara yang terpikirkan paling logis rupanya adalah dengan memunculkan tiga tokoh sentral BLU secara sekilas. Sekadar untuk menunjukkan kepada penonton bahwa mereka masih dalam satu latar waktu yang memungkinkan untuk saling bertemu. Sisanya, Virgo berdiri sendiri dengan cerita dan masalahnya sendiri. Meski kita sama-sama tahu, cara ketiga tokoh tersebut muncul mirip dengan adegan dari film mana dan dilakukan oleh sosok siapa saja.
Virgo and the Sparklings hadir dengan segmentasi anak mudanya. Meski unsur percintaannya malah tanggung, karena kekurangan motivasi. Urgensi memasukkan satu tokoh laki-laki, Leo, sebagai pemicu kisah cinta dari tokoh utama menjadi kurang kuat, gara-gara perannya tak terasa signifikan. Sampai-sampai menimbulkan cinta segitiga antara sang protagonis, Leo, dan lawannya, sehingga turut mengaburkan plot utamanya.
Tanpa pengakuan langsung dari sang antagonis dan bantuan takarir (subtitle), bagaimana kita bisa tahu latar belakang masalah dia hingga bisa berubah jadi sosok yang memusuhi seisi kota? Andaikata eksposisi tokoh antagonis tersebut dan peran ketiga sahabat Riani bisa dikelola dengan lebih baik, rasanya plot percintaan dan kehadiran Leo juga tak perlu ada. Toh peran vitalnya hanya melengkapi bagian yang rumpang dalam geng The Virgos. Ada, tetapi tak lebih besar daripada ketiga sahabat Riani.
Sementara itu, efek visual Virgo and the Sparklings lebih kerap mengisi gambar dengan warna-warni kehidupan masa remaja. Meski aneh juga rasanya, ketika visualisasi sinestesia yang notabene salah satu kemampuan Virgo hanya muncul sekali pada segmen awal. Seolah hanya untuk menandai penggambarannya. Bukankah sang pemilik kemampuan bisa melakukan penyelidikan kasus kesurupan di kota dengan memanfaatkan itu? Toh dia sendiri yang mengaku bisa membedakan kejujuran dan kebohongan seseorang lewat warna emosi yang dia lihat dalam suara.
Ada cukup banyak elemen dalam penceritaan Virgo. Selain harus mengeksekusi pengadeganan untuk elemen musikal, komunikasi dengan orang tua masing-masing, dan pertengkaran sahabat, masih ada perkara asmara pula. Kesempatan untuk lebih banyak memunculkan perjuangan The Virgos dalam kompetisi musik pun terkikis. Begitu juga dengan kesempatan kita untuk lebih mengenal sang lawan. Setiap adegan laganya juga banyak mengandalkan efek visual. Penonton tidak akan menjumpai aksi-aksi bela diri dengan gerakan yang matang. Selain itu, ke mana pula perginya sang reuploader video-video beracun? Kenapa pula dia dengan santai mendatangi konser kecil The Virgos sambil menikmati lagu-lagu mereka? Bukankah sebelumnya dia mati-matian berusaha kabur?
Virgo and the Sparklings walau minimal sudah lebih menghibur daripada dua pendahulunya, tetapi masih belum terlalu signifikan membawa perubahan. Beruntungnya, tertolong pula dengan olah peran dari beberapa orang yang menutupi kelemahan akting dari pemain lainnya. Kendati pada saat yang sama terdapat banyak pembagian porsi layar. Visualnya pun tidaklah parah. Meski patut disayangkan kelebihan sinestesia sang tokoh utama tak dieksplorasi ke dalam cerita. Walau lebih ringan dan renyah, Virgo ternyata tetap membawa serta kelemahan dari Gundala dan Sri Asih, yakni konten berlebih.
Superhero film era is dead. Nggak ada hal baru. Nggak ada formula baru.
Ditunggu banget nih formula baru dari sineas-sineas baru yang belum kelihatan.