Saat film Warkop DKI Reborn Part 1 dirilis (2016), orang-orang berdatangan ke bioskop untuk segera menonton film yang telah lama dirindukan ini. Bagi para penikmat film-film Warkop, tentu saja ini hal yang sangat menggairahkan. Siapa sangka film lawas ini kembali dapat dinikmati di layar lebar? Selama ini generasi 90-an telah cukup merasa puas dengan menonton filmnya di televisi dengan tayangan yang tentu saja perlu dipotong karena kebutuhan iklan komersial berulang kali. Menonton film Part 1 yang sengaja diakhiri di bagian yang nanggung, jujur saja saya langsung berpikir bahwa film ini sengaja dibagi ke dalam dua bagian untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Siapa yang tidak menebak bahwa film Warkop DKI Reborn pasti akan ramai penonton. Tentu saja, setidaknya ada satu hal penting yang sangat menjual, yakni nuansa nostalgia yang berhasil meraup lebih dari 6,8 juta penonton. Film ini menambah daftar kesuksesan sang sutradara, Anggy Umbara, yang sebelumnya telah menyutradarai seri film Comic 8.

Warkop DKI Reborn Part 2 mengisahkan petualangan mencari harta karun di negeri tetangga yang di-reboot dari film IQ Jongkok (1981). Pencarian ini disajikan dengan shot dan adegan yang jenaka dan tentu saja dihadirkan dengan nuansa yang lebih fresh dan modern. Tampak sekali usaha sineas untuk me-recall kenangan para penonton akan film-film terdahulu dengan berbagai guyonan khas film Warkop DKI. Penonton yang telah menikmati film-film sebelumnya, tentu akan lebih mendapatkan mood film dan dapat tertawa lebih kencang menonton aksi Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian) dan Indro (Tora Sudiro) yang berperan cukup baik dalam menduplikasi masing-masing tokohnya. Tetapi sayangnya, terdapat bagian-bagian yang tampak memaksakan karena tidak lucu dan terasa datar saja. Salah satu hal yang tampak memaksa adalah karakter Indro yang diperankan oleh Indro sendiri. Ia selalu muncul dalam bayangan Indro yang diperankan oleh Tora Sudiro, dengan adegan-adegan yang menyentuh tema serta karakter kekinian, seperti menjadi Minion dan Katy Perry. Dua karakter ini tampak kurang lucu, diperparah dengan jumlah adegan serupa porsinya agak berlebihan.  Meskipun begitu, secara keseluruhan Part 2 ini memang lebih menghibur daripada Part 1. Adegan lagu Andeca Andeci yang dinyanyikan dengan konyol menjadi salah satu bagian yang paling berkesan karena lagunya yang sudah sangat familiar. Kehadiran karakter ikonik seperti Susanna, Rhoma Irama dan Barry Prima pun menjadi strategi yang unik untuk membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Harus diakui, sineas pandai membaca situasi dan tema kekinian yang sedang hits di kalangan muda.

Upaya untuk bernostalgia lainnya adalah adegan-adegan khas film Warkop DKI yakni menembus batas tembok keempat dimana para karakter dapat  berdialog dengan penonton sehingga menambah kelucuan. Sayang sekali, terdapat adegan-adegan yang tampak hanya bertujuan untuk memperpanjang durasi sehingga bertele-tele dan tidak lucu seperti pembicaraan tentang Upin Ipin. Ketika film-film terdahulu diproduksi sangat dipengaruhi oleh tekanan pemerintahan Orde Baru yang mengontrol media massa termasuk film membuat film tidak dapat sepenuhnya berekspresi mengkritik dunia politik dalam negeri, kini di versi modern sarat akan sindiran bermuatan politis yang patut untuk diapresiasi. Adegan diruang persidangan adalah salah satu adegan yang penuh kritik dan disajikan dengan cukup baik.

Muatan politis yang terkandung tidak menjadi poin plus yang meningkatkan kualitas film secara dramatis. Hal ini dikarenakan kualitas cerita yang lemah, eksplorasi cerita yang sangat minim membuat film terkesan dangkal. Pertualangan mencari harta karun tentu saja bisa menjadi hal yang sangat seru dan menantang. Jika penonton memiliki banyak refrensi film dengan tema sejenis, tentu saja memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap film yang digarap di era modern ini. Perencanaan dan persiapan yang matang tidak mustahil dapat mempersembahkan adegan dengan detail cerita yang mumpuni dan ditunjang dengan mise-en-scene yang membuat penonton merasa puas dengan upaya reborn yang dilakukan. Setting dan properti dibuat seasal jadinya saja padahal berpotensi menunjang kualitas film secara keseluruhan. Ditambah lagi dengan penyajian footage yang terlalu banyak. Film ini menjual kelucuan tanpa berusaha maksimal untuk menyajikan kelucuan dari hasil eksplorasi kreatif. Hal yang tampak lucu dan bernuansa nostalgia dihadirkan secara beruntun untuk menjadi nilai jual.

Baca Juga  Retrospeksi Film Pendek Montase: Ngelimbang

Penonton tentu ingat dengan hal yang sangat lekat dengan film-film Warkop DKI. Kehadiran perempuan cantik nan seksi tentu saja selalu menghiasi setiap filmnya dimana para karakter utama begitu suka menggoda perempuan-perempuan di sekitar mereka. Dalam dua film teranyar ini pun banyak sekali adegan yang sarat memperlihatkan tubuh perempuan untuk kemudian menjadi objek seksual yang secara terang-terangan dipertontonkan. Banyak adegan yang secara terang-terangan  menyorot bagian tubuh perempuan dengan vulgar salah satunya adegan dimana Sophie (Hannah Al Rasyid) memberikan penjelasan dengan mencondongkan tubuhnya kedepan sehingga bokongnya tampak seronok. Objektifikasi tubuh perempuan ini tidak sepatutnya dilakukan hanya demi menjadi nilai jual film.

Bagian tubuh perempuan menjadi hal yang ditonjolkan selain komedi dan nostalgia yang ditawarkan. Seksualitas perempuan menjadi komoditas yang digunakan untuk menunjang perolehan komersial. Adapun perubahan dalam penggunaan kostum karakter perempuan yang tampak lebih tertutup sepertinya lebih terkait dengan upaya keamanan dari intervensi lembaga sensor. Tidak hanya secara visual, objektifikasi perempuan dan tubuhnya juga dilakukan secara verbal. Sehingga layak untuk dipertanyakan, apakah film Warkop DKI sebagai seri film terbanyak dan terlaris di Indonesia ini akan terus menerus melakukan komodifikasi tubuh perempuan dalam film-film selanjutnya? Mengingat kesuksesan kedua film terakhir yang luar biasa ini membuka peluang amat besar untuk memproduksi film-film yang lebih “khas” kedepannya. Bisa dibayangkan, jika perlakuan terhadap karakter perempuan dalam film Warkop DKI tidak berubah, maka posisi perempuan akan semakin terpojokkan dari jaman ke jaman.

Representasi perempuan dalam film memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap masyarakat mengenai pandangan dan nilainya akan perempuan di dalam budaya dan kehidupannya sehari-hari. Sosok Sophie yang tidak banyak tampil dan berdialog hanya lebih ditekankan pada kebutuhan visual saja. Kecantikan dan seksualitas perempuan seolah lebih diutamakan daripada andil serta kontribusinya dalam sebuah kegiatan. Representasi serupa yang terus berulang berpotensi memundurkan kualitas bangsa di era yang serba maju ini. Ketika film komedi buatan mancanegara sudah begitu canggih dengan guyonan yang kritis dan mendidik baik secara verbal dengan sajian dialog yang mampu membuat penonton tertawa tetapi juga sadar sosial, film Indonesia masih mengedepankan guyonan remeh serba tanggung dan sarat dengan sarkasme dan menonjolkan daya tarik fisik perempuan.

Menjual nostalgia, mengobjektifikasi tubuh perempuan, menyajikan dialog yang kurang lucu serta berkaitan dengan hinaan etnis dan fisik, film Warkop DKI Reborn Part 2 sungguh ketinggalan jaman. Meskipun bertujuan untuk merujuk film-film terdahulu, namun kreatifitas sineas seharusnya dapat membuat film yang lebih canggih, eksploratif, dan lebih padat tanpa dipanjang-panjangkan. Andai saja sebelumnya tidak pernah ada film-film Warkop DKI, jumlah perolehan penonton pasti biasa-biasa saja. Apalagi, film komedi yang kreatif, dengan konten yang mendidik dengan penyajian isu bermakna kesadaran sosial telah cukup banyak hadir di layar bioskop, diantaranya Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016).

Artikel SebelumnyaPetak Umpet Minako
Artikel BerikutnyaWind River
Menonton film sebagai sumber semangat dan hiburan. Mendalami ilmu sosial dan politik dan tertarik pada isu perempuan serta hak asasi manusia. Saat ini telah menyelesaikan studi magisternya dan menjadi akademisi ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.