Masih ingat Charlie and the Chocolate Factory (2005) dan satu film lagi yang diproduksi tahun 1971, Willy Wonka and the Chocolate Factory? Kali ini, sosok eksentrik Willy Wonka mendapatkan kisah originnya melalui Wonka. Wonka adalah film drama fantasi arahan sineas Inggris Paul King yang kita kenal sukses dengan seri drama fantasi Paddington. Film ini dibintangi sederetan nama-nama besar, sebut saja Timothée Chalamet, Keegan-Michael Key, Paterson Joseph, Matt Lucas, Mathew Baynton, Sally Hawkins, Rowan Atkinson, Jim Carter, Tom Davis, Olivia Colman, dan Hugh Grant.
Jauh sebelum Willy Wonka menjadi pemilik pabrik cokelat terbesar di dunia, ia hanyalah seorang pemuda yang ambisius yang bermimpi memiliki toko cokelat di kota. Wonka (Chalamet) datang dengan segala kenaifannya tentang kehidupan kota yang keras. Ia pun terjebak dalam skenario licik Mrs. Scrubbit (Coleman) hingga ia terjebak dalam usaha cuci pakaian bersama rekan-rekan senasibnya. Wonka tak menyerah, ia pun masih berupaya untuk menjual cokelatnya secara diam-diam dibantu Noodle (Calah Lane), asisten Mrs. Scrubbit. Usaha ini tercium oleh tiga pengusaha cokelat besar pimpinan Arthur Slugworth (Joseph) yang bekerja sama dengan kepala polisi (Key) untuk mengenyahkan Wonka selamanya.
Kisahnya begitu solid dan rapi yang mudah diikuti plotnya. Dengan selipan nomor-nomor musikalnya, plotnya berjalan menarik dengan mampu mengenalkan belasan karakternya dengan efektif, tanpa ada satu pun yang terlihat sebagai tempelan (figuran instan). Sisi humor pun diselipkan dengan gaya sangat berkelas. Contoh saja, sosok kepala pendeta yang diperankan Rowan Atkinson (yang tentu sudah kita kenal baik), walau hanya selintas di awal, namun begitu membekas. Hal yang sama terjadi pada sosok Mrs. Scrubbit, Kepala Polisi, hingga tentu saja Oompa-Loopa yang diperankan Hugh Grant.
Eksplorasi sosok protagonis utama, Willy Wonka, jelas adalah pencapaian terbaiknya. Tak mudah untuk membuat penokohan satu sosok karismatik macam ini dengan chemistry dan charm yang luar biasa efeknya bagi banyak karakter lain. Sang aktor bermain dengan talentanya yang luar biasa, dan tentu saja olah vokalnya. Siapa menduga, Chalamet punya suara emas yang demikian memikat. Bisa saja kelak, tidak hanya nomor musikalnya yang mendapatkan penghargaan tertinggi, namun sang aktor sendiri. Secara umum, semua kastingnya bermain sangat baik dan mereka terlihat begitu menikmati perannya. Simak saja penampilan Coleman dan Grant dalam perannya tak biasa.
Satu hal paling mencuri perhatian dari aspek estetik jelas adalah nomor-nomor musikalnya yang manis dan rancak. Nomor-nomornya mengingatkan pada film-film klasik era silam dan film animasi Disney era 1990-an, macam The Sound of Music, Singin in the Rain, West Side Story, Beauty and the Beast, hingga Aladdin. Semua nomor musikalnya memberi kesan yang teramat membekas, sebut saja “Pure Imagination” hingga “Scrub-Scrub”. Di luar unsur musik adalah setting-nya yang disajikan luar biasa. Walau tak seliar Chocolate Factory garapan Tim Burton, namun setting-nya memadu sempurna dengan konteks cerita dan sisi musikalnya. Dijamin, penonton bakal terbius dengan kombinasi setting menawan, koreografi, lagu, hingga olah vokal para kastingnya. Atmosfir magisnya terasa kental dalam beberapa nomornya.
Wonka adalah sebuah sajian klasik instan komplit, persilangan drama, fantasi, humor, kriminal, hingga musikal yang berkelas dengan sentuhan manusiawi yang hangat untuk segala penonton. Sentuhan sang sineas memang terasa sekali melalui kehangatan dan sisi komedinya, seperti telah dilakukannya dalam Paddington. Ending-nya begitu berkesan ketika Wonka akhirnya membuka cokelat pemberian mendiang ibunya. Sisi dramanya begitu menyentuh hingga tak terasa air mata meleleh begitu saja yang tak jarang terdengar isak tangis di sana-sini ketika menonton. Wonka adalah satu pencapaian terbaik medium film yang mengembalikan fungsi alaminya sebagai hiburan yang sarat dengan nilai-nilai luhur keluarga dan persahabatan di tengah jaman yang kini makin kita rasakan jauh dari sisi manusiawinya.