Demensia atau (ringkasnya) penurunan fungsi otak pada lansia merupakan peristiwa umum, karena rupanya siapa saja berkemungkinan mengalaminya. Demikian pula dalam Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti arahan Herwin Novianto. Ia pula yang mengerjakan skenarionya bersama Gunawan Raharja di bawah naungan produksi Falcon Pictures. Sementara itu, para pemeran dalam film drama keluarga rilisan KlikFilm ini antara lain Clara Bernadeth, Donny Damara, Indro Warkop, Nurtyas Yunianto, Endah Laras, Sri Hartini, dan Wina Marrino. Tercatat, film ini pernah tayang lebih dulu pada Oktober 2022 di Jakarta World Cinema Week. Ini juga merupakan kali ketiga sang sutradara dan penulis berkarya bersama. Jadi, bagaimana dengan hasil mereka kini?

Hari-hari Yasmin (Clara) penuh ketenangan sekaligus disibukkan mengurus penginapan bersama pakdenya, Darto (Donny). Namun, tiba-tiba bapak Yasmin, Hardiman (Indro), pulang. Setelah menghilang amat lama sejak Yasmin masih kecil. Sayangnya, sang bapak ternyata mengalami demensia. Yasmin yang masih memendam kecewa dan perasaan sakit hati enggan berada di dekat bapaknya dengan alasan apa pun. Sampai lambat laun, juga atas bujukan terus-menerus dari Pakde, Yasmin dengan kikuk mendekati Bapak. Tepat dengan reaksi sang bapak yang langsung mengenali Yasmin, walau dalam versi gadis kecil dalam pikirannya.

Sederhana adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keseluruhan Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti. Baik plot, alur, maupun visualnya. Namun, saking terhanyut oleh kesederhanaan tersebut, rupanya terdapat satu twist yang cukup berhasil. Tidak dinyana pula Indro Warkop mampu berperan dalam film dengan muatan drama sebesar ini. Ia bahkan menjadi salah seorang tokoh sentralnya. Pun melihat chemistry-nya dengan Clara sebagai sang putri. Walau fluktuatif, tetapi secara umum pendalaman peran keduanya bermain imbang sepanjang film berjalan. Aliran adegan-adegan emosional juga beberapa kali menghanyutkan lewat sejumlah kesempatan, saat mereka menunjukkan kedekatan sembari mengenang masa lalu bersama mendiang ibu.

Baca Juga  Tausiyah Cinta

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti tidak berupaya neko-neko dengan visualnya. Hanya ada beberapa sudut pengambilan gambar yang menangkap detail-detail clue, kilas balik tipis-tipis, perangkat serba tradisional atau gaya lama sesuai spirit penginapan, begitu pula setiap busananya. Meski aspek musiknya kerap kali mendominasi dan malah mengganggu kebutuhan akan dialog yang jelas, baik hanya melalui instrumental maupun dengan satu-dua lagu. Dalam beberapa adegan, tidak jarang pula justru kurang sesuai dengan emosi yang semestinya tercipta dan dirasakan penonton. Padahal musik dalam genre drama merupakan salah satu senjata pemikat dengan efektivitas tinggi.

Skenario Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti pun meninggalkan dua temuan besar. Serangkaian dialog yang mengaver penceritaan kisah sepanjang film berjalan, tetapi adegan-adegannya cukup sering memuat clue. Sampai akhirnya membuka twist pada ending film tentang relasi sesungguhnya antara Hardiman, Yasmin, dan Darto. Setidaknya penyematan sejumlah clue dan keberadaan twist tersebut berhasil menjadi sekoci penyelamat bagi skenario film ini. Walau kemudian menjelang berakhir, konsep dalam cara bertuturnya diketahui sangatlah sederhana –termasuk dengan setiap clue-nya.

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti menyampaikan dengan sederhana hari-hari hubungan anak perempuan dan bapak-bapaknya, ditambah sedikit “sentakan” pada akhir cerita. Meski tak memukau, tetapi sensasi kehangatan dari film ini persis seperti Yang Tak Tergantikan (2021) –yang juga digarap berdua oleh Herwin dan Gunawan. Banyak menjelaskan adanya kemiripan nuansa antara dua film ini. Meski problematika keluarganya berbeda. Pun, Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti mengandung kedalaman pemaknaan lebih kuat, karena didukung pula oleh sebuah lagu dengan judul yang sama dari Banda Neira. Penampilan yang bagus pula dari para pemeran untuk ketiga tokoh sentral, Indro Warkop, Clara Bernadeth, dan Donny Damara.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Monkey King
Artikel BerikutnyaGran Turismo
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.