American Born Chinese merupakan seri rilisan Disney Plus yang diadaptasi dari grafik novel karya Gene Luen Yang. Film bertotal 8 episode ini dibintangi oleh Ben Wang, Yeo Yann Yann, Chin Han, Ke Huy Quan, Jimmy Liu, Sydney Taylor, Daniel Wu, dan Michelle Yeoh. Dengan memadukan sisi drama dan mitologi Tiongkok, serta bintang-bintangnya, seberapa jauh serial ini mampu mengeksplorasi genrenya?

Jin Wang (Wang) adalah putra dari pasangan imigran Tiongkok yang telah lama menetap di AS. Sementara orang tuanya berjuang untuk mencari penghasilan, sang putra masih mencari jati dirinya di tengah-tengah rekan sebayanya di SMU. Hingga suatu hari, seorang murid baru yang juga keturunan Tiongkok, Wei-Chen (Liu) terus menempel Jin. Jin tidak menyadari bahwa Chen sejatinya adalah putera dewa kera sakti, Sun Wu Kong (Wu) yang turun ke bumi untuk menyelamatkan dunia dewa yang tengah dalam prahara.

Dengan premis yang menjanjikan beserta bintang-bintang besarnya, seolah seri ini bakal menyajikan sesuatu yang epik. Faktanya nol. Kisah sedemikian besar dengan ranah dewa dan manusia tetapi tidak mampu diolah menggigit tanpa konflik berarti serta ancaman yang dijanjikan. Kisahnya justru lebih fokus ke hormon remaja Jin yang ini pun tidak memiliki arah yang jelas. Siapa Jin hingga ia dianggap bisa menolong alam semesta dari kehancuran? Ini tidak terjawab dengan tegas. Satu hal saja, jelas-jelas Wei-Chen memiliki kekuatan fisik dengan segala atribut dewanya, namun bagaimana mungkin Jin tetap tidak tergoda dan justru sibuk dengan gebetannya. Ini terlalu janggal.

Terpikir untuk sesaat ini adalah satu pesan yang brilian untuk memberi pelajaran pada Jin, sosok remaja AS keturunan yang sudah tak lagi tahu asal usul dan tradisinya. Rupanya tidak. Hingga klimaks, konflik ranah dewa yang tengah dalam situasi genting, tetap terasa datar-datar saja. Satu cubitan pun tidak. Singkatnya, naskah dan dialognya begitu lemah serta plot sering melompat-lompat hingga terasa ada sesuatu yang hilang dalam kisahnya. Tidak ada satu karakter pun yang cukup kuat untuk membuat kita bersimpati penuh. Bukankah dua pemainnya baru saja meraih Oscar? I don’t know, but something is completely “wong”. Dua tokoh utama remajanya (Wang dan Liu) terlalu lemah chemistry-nya justru terlihat berakting terlalu santai dan seolah segalanya terlihat biasa di tengah situasi kehancuran dunia. Mereka saja tidak terlihat seperti terancam, lantas bagaimana kita?

Baca Juga  Tilik the Series: Menilik Situasi Lebih Besar sebagai Kepedulian terhadap Lingkungan

American Born Chinese terjebak dalam kerumitan persilangan drama imigran dan fantasi tanpa arah cerita yang jelas meskipun didukung bintang-bintang kawakan. Ranah dewa hanya berkesan sekadar tempelan bagi kisah drama remaja yang arahnya tidak bisa dipahami. Apakah segala kerumitan yang sama adalah cermin besar dari remaja imigran Cina di AS? Contoh ideal adalah film drama fantasi masterpiece yang baru saja dibintangi tiga pemain dalam seri ini yang juga mendapat piala Oscar untuk film terbaik. Dengan segala kompleksitas plotnya, Everthing Everywhere All At Once secara tegas dengan kedalaman maknanya merangkum secara sederhana hubungan antara ibu dan putrinya. Mungkin saya melewati sesuatu dalam seri ini dan tidak mampu menemukan satu poin pun yang mampu menggugah dalam kisahnya selain hanya rasa lelah dan bosan. Apakah sepatutnya, kisah mitos yang penuh dengan kebijakan dan harmoni tentang alam semesta dikemas dengan cara dangkal seperti ini?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaSosialisasi Pedoman Penilaian Dewan Juri FFWI 2023: Kelayakan Menjuri Festival Film
Artikel BerikutnyaBlood & Gold
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.