*Spoiler alert! Artikel ini tidak disarankan bagi yang belum menonton filmnya dan diharapkan sudah membaca ulasan Arrival di website ini.

Arrival, film fiksi ilmiah garapan Dennis Villeneuve kini masih tayang di bioskop walau tinggal menyisikan di beberapa gelintir teater saja. Tidak dipungkiri memang film ini tidak seperti lazimnya memiliki kisah yang tidak mudah untuk dimengerti. Rekan serta kolega banyak menyebut hal yang sama selepas menonton filmnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Ini cerita filmnya bagaimana sih? Alien itu ke bumi mau apa, kok saya gagal paham?” muncul bersama puluhan pertanyaan lainnya. Artikel ini mencoba untuk menjawab secara sederhana kebingungan banyak penonton dari pengalaman ketika saya menonton filmnya. Apa sebenarnya inti cerita dan pesan film ini?

Film ini memang telat rilis di Indonesia beberapa bulan dari negara asalnya. Kita telah sama-sama tahu sebelumnya jika film ini banyak mendapat pujian kritikus dimana-mana bahkan telah meraih belasan penghargaan bersama puluhan nominasi di beberapa festival film besar. Berhubung saya memang fans film fiksi ilmiah, saya tahu persis jika ini film bagus karena jarang film bergenre ini dipuji setinggi langit sejak District 9 beberapa tahun silam.  Setelah bersabar agak lama akhirnya film ini rilis di teater lokal, itu pun hanya di beberapa teater, dan tidak diputar di teater favorit saya. Penonton pun hanya seperempat kapasitas bioskop saja sewaktu premiere hari pertama pada jam pertama.

Ketika filmnya bermula beberapa menit awal saya sudah menyadari jika film ini bukan film biasa. Menit-menit berikutnya mengamini hal tersebut. Berdasarkan pengalaman menonton, saya hanya mencermati dan merekam informasi yang ada, menikmati filmnya tanpa berpikir macam-macam. Saya tahu film ini bakal sangat detil dan saya ingin memastikan tidak ada informasi cerita yang terlewat. Dan selepas selesai menonton ternyata benar film ini adalah film luar biasa dan kisahnya tidak bertutur di level permukaan layaknya film-film alien kebanyakan. Memang butuh kejelian, diskusi, dan banyak pengalaman menonton untuk bisa memahami film ini lebih dalam.

Pertanyaan-pertanyaan yang banyak muncul seputar film ini. Untuk apa sebenarnya alien tersebut ke bumi? Mengapa alien tersebut berjumlah 12 dan menduduki 12 lokasi di berbagai belahan bumi? Mengapa bentuk pesawat mereka seperti itu? Mengapa posisi awal mereka berdiri dan mengapa berubah posisi menelungkup? Mengapa mereka tidak berkomunikasi secara gamblang dan harus menggunakan simbol yang sulit dimengerti? Apa kaitan kilas masa depan Louise dengan kisahnya? Bersama puluhan pertanyaan lainnya.

Dari ulasan saya di website ini sebelumnya sudah jelas jika film bicara masalah dalam berkomunikasi. Rumitnya berkomunikasi sudah tampak sejak Louise bertemu dengan dua alien yang dinamai, Abbot dan Castello. Melalui teknis montage yang menawan dinaratori Ian, proses mereka menafsirkan simbol alien disajikan dengan rinci. Kita tahu secara umum yang mereka lakukan tetapi seperti Louise dan Ian kita juga sama-sama tidak tahu alien tersebut sebenarnya mau bicara apa. Proses mereka berkomunikasi sungguh menggemaskan dan menjengkelkan hingga sama seperti kita, kolonel Weber pun tak sabar. Secara umum ini menggambarkan betapa rumitnya berkomunikasi dan ketika menafsirkan simbol yang mengandung kata “weapon” hasilnya bisa beragam hingga Jendral Shang mengerahkan seluruh pasukannya. Ternyata bahasa yang berbeda bisa ditafsirkan berbeda pula.

Baca Juga  Retrospeksi Film Pendek Montase: Reco

Bicara soal bentuk pesawat alien. Bagaimana jika saya bilang pesawat tersebut sebenarnya adalah sebuah telepon atau gagang telepon yang merupakan salah satu media bagi kita berkomunikasi. Sebuah telepon? Ini bisa terjawab melalui posisi 12 pesawat tersebut di 12 lokasi penjuru wilayah bumi. Ada apa dengan 12 lokasi tersebut? Sekilas jika Anda cermat menyimak narasi dari Ian, satu-satunya kesamaan dari 12 lokasi tersebut adalah penyanyi pop asal Inggris di era 80-an, Sheena Easton pernah konser di lokasi-lokasi tersebut. Ada apa dengan Sheena Easton? Salah satu lagu hit milik Sheena Easton adalah Telefone. Sekarang sudah jelas bukan. Posisi berdiri menandakan mereka terbuka untuk berkomunikasi sedangkan posisi menelungkup berarti hang up, menutup komunikasi.

Lalu apa kaitan Louise dengan semua ini. Louise adalah sentral dari kisahnya yang menjadi penghubung antara alien dan umat manusia. Melalui Louise dan kemampuannya untuk membaca masa depan menjadi kunci solusi filmnya. Louise dalam satu momen berkata, “Aku tahu sekarang mengapa suami saya meninggalkan saya?”. Louise berkata pada putrinya jika ia telah mengatakan sesuatu pada suaminya yang seharusnya tidak ia katakan. Ada problem komunikasi disini dan Louise telah gagal berkomunikasi. Sineas pun bahkan mengecoh sehingga kita salah tafsir dan baru menyadari jika kilas balik yang selama ini muncul ternyata adalah kilas masa depan.

Inti problem Louise juga adalah problem komunikasi antara alien dengan manusia atau lebih tepatnya sebenarnya adalah antara sesama umat manusia sendiri. Melalui bantuan Louise akhirnya bencana besar terhindarkan. Kehadiran Alien intinya hanya menjadi medium agar manusia bisa memahami (berkomunikasi) satu sama lain sehingga salah tafsir bisa dihindari. Melalui bahasa universal, manusia memiliki kemampuan menciptakan keseimbangan agar selaras dan harmonis dan Louise menuliskan ini semua dalam bukunya. Hannah, sang putri pun juga menjadi kunci. Nama Hannah diistilahkan palindrum, karena dibaca dari depan dan belakang tetap sama (seimbang).

Arrival mencoba menyampaikan pesan perdamaian melalui bahasa universal yang bisa ditangkap semua orang. Simbol lingkaran alien mirip dengan bentuk ulat yang dipegang oleh Hannah yang bisa saja kita maknai sebagai simbol alam (nature). Alam memiliki bahasa universal yang sempurna, tidak lebih dan tidak kurang. Kita tinggal belajar dari sana, mereka selalu ada disana, selalu menunggu, semua tergantung kita, mau mendengarkan atau tidak. Dengan problem umat manusia yang ada saat ini ada baiknya kita mulai mencoba untuk mendengar.

Artikel SebelumnyaPatriots Day
Artikel BerikutnyaKomodifikasi Tubuh Perempuan dalam Seri James Bond
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.