Miracle (1982)
124 min|Drama|25 Dec 1982
8.1Rating: 8.1 / 10 from 873 usersMetascore: N/A
Elsa saw the blessed Virgin Mary who had changed her life and caused a hysteria in a poor isolated village.

Himala adalah bahasa tagalog yang bermakna keajaiban. Kisah filmnya mengambil tempat di sebuah dusun miskin terpencil dan gersang bernama Cupang. Elsa (Aunor) adalah seorang gadis desa biasa. Pada waktu gerhana matahari, ia kebetulan melintasi padang, dan suara gaib memanggilnya. Elsa lalu mendapat visi, penampakan “Bunda Maria”. Elsa yang setelahnya berperilaku aneh membuat seisi dusun cemas. Namun ketika Elsa bisa menyembuhkan seorang warga yang sakit keras mendadak segalanya berubah. Elsa dianggap bak seorang “Nabi” dan ribuan orang datang ke dusun kecil ini minta diberkati dan disembuhkan.

Sungguh mengesankan dan sangat tidak diduga dari negeri Filipina bisa memiliki sebuah film yang memiliki pencapaian begitu tinggi. Tema menjadi kekuatan utama filmnya. Fenomena “nabi palsu” telah ada sejak silam namun belum ada yang mampu menggambarkannya dengan begitu baik dan begitu membumi. Kisahnya sendiri berjalan dengan tempo sedang, sedikit demi sedikit konflik cerita berkembang menjadi semakin menarik dan dramatik. Elsa membawa pengaruh besar bagi perubahan lingkungan sekitarnya baik fisik maupun mental. Niat baik Elsa menolong orang justru dimanfaatkan untuk kepentingan lain. “Elsa” bukannya membawa kedamaian justru membawa petaka. Konflik cerita yang demikian detil dan kompleks semakin sempurna dengan klimaks yang mengejutkan.

Aunor yang berperan sangat baik sebagai Elsa berakting lebih banyak tanpa dialog. Ekspresi sang bintang jauh lebih berbicara banyak dan secara brilyan ia bisa menempatkan dirinya di antara “percaya” (faith) dan “tidak percaya” (faithless). Para pemain lainnya juga bisa mengimbangi Aunor dengan baik khususnya Gigi Duenas (Nimia) dan Laura Centeno (Chayong). Setting juga mengambil peran penting dalam keberhasilan filmnya, baik setting dusun maupun di padang gurun. Selain pencapaian diatas, aspek sinematografi, editing, dan musik, mampu menyatu menyajikan sebuah kisah bernuansa “horor” yang sangat menyayat hati dan dramatik.

Baca Juga  Mumon: The Land of Stealth

Entah Elsa adalah seorang “nabi” masih menyisakan banyak pertanyaan dan bisa memunculkan banyak penafsiran. Elsa bisa menjadi simbol penderitaan dan pengorbanan  seorang utusan Tuhan, sejak mendapat “wahyu” hingga “disalib”. Elsa bisa pula menjadi simbol kemiskinan absolut serta moralitas yang ambruk di tengah masyarakat yang melakukan apa saja demi uang. Akal sehat dan logika dibutakan oleh lingkungan dan tuntutan materi. Elsa akhirnya menyadari semua dan berpidato di hadapan ribuan pengikutnya, “There is no miracle!! The miracles are in people’s hearts, in all our hearts! We make the miracles!”.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaOmbak Rindu, Sajian Melodrama ala FTV
Artikel BerikutnyaNo Other Woman, Menjual Glamor dan Sensualitas
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.