I Think We're Alone Now (2018)
99 min|Drama, Mystery, Sci-Fi|21 Sep 2018
5.7Rating: 5.7 / 10 from 12,335 usersMetascore: 51
The apocalypse proves a blessing in disguise for one lucky recluse--until a second survivor arrives with the threat of companionship.

Mengandung Spoiler!

I Think We’re Alone Now adalah film drama fiksi ilmiah arahan sineas perempuan Reed Morano. Film-film arahannya, seperti  Frozen River dan The Skeleton Twins selalu diputar di ajang Sundance Film Festival, dan tidak terkecuali film ini. I Think We’re Alone Now sendiri dibintangi dua bintang ternama, si cebol Peter Dinklage dan Elle Fanning. Hingga kini sudah ratusan film bertema post apocalypse dan film ini mencoba menawarkan satu kemasan yang berbeda.

Alkisah Del adalah satu-satunya manusia yang hidup di kota kecil tempat ia tinggal pacsa wabah mematikan yang membunuh 99,9% manusia di bumi. Tak dikisahkan, bagaimana Del bisa lolos dari wabah mematikan tersebut dan kapan wabah tersebut muncul. Digambarkan aktivitas harian Del adalah menyapu satu persatu rumah di kota tersebut, membersihkan jalan, mengubur mayat mereka, hingga memancing ikan. Suatu ketika, sesuatu yang tak terduga terjadi, sebuah mobil datang dengan seorang gadis muda di dalamnya.

Dengan premis yang menarik, subgenre ini memang adalah satu genre favorit saya. Awal kisahnya, didominasi setting kota kecil yang kosong melompong yang berisi hanya satu orang kerdil saja. Menarik sekali, melihat aktivitas harian si cebol Del, sekaligus menggelitik rasa penasaran mengapa semua ini bisa terjadi, hingga membuat saya berpikir bahwa semua ini hanyalah metafora. Kisah terus berjalan, kehadiran Grace membuat warna baru di kisahnya menjadi lebih hidup. Sekalipun kita tak tahu asal usul gadis muda ini, namun mudah bagi penonton untuk bisa masuk ke karakter Grace. Del yang semula menolak kehadiran Grace, lambat laun mulai bisa berdamai dengan sang gadis. Satu montage kecil yang manis di pertengahan cerita menggambarkan bagaimana keseharian keduanya, saling bekerja sama dan menikmati hidup mereka di kota kecil tersebut.

Tidak hingga masuk babak pertengahan, semua arah cerita berubah dengan kehadiran “orang tua angkat” Grace. Bagaimana mereka bisa sampai di sini masih tak jelas. Keduanya, yang tampak seperti “psikopat” membawa Grace kembali ke tempat asal mereka tanpa alasan yang bisa kita mengerti. Del pun diajak ke kota di mana ratusan manusia yang selamat ternyata berkumpul di sana, namun ia menolak. Sepeninggal sang gadis, Del yang tak betah sendiri akhirnya menyusul Grace ke alamat yang diberikan sang ayah angkat. Melalui adegan yang agak janggal, kita diperlihatkan sesuatu yang tak wajar terjadi pada mereka. Layaknya robot, kabel yang tertancap di belakang leher Grace menyatu dengan sebuah mesin “penghilang trauma”, kata mereka. What? Satu konfrontasi kecil berujung pada kematian sang ayah, Del dan Grace pun lalu kembali ke kota kecil mereka yang damai.

Baca Juga  Film tentang Wabah: World War Z

Setelah sajian 2/3 awal yang menarik, kisah filmnya menjadi terasa mentah di 1/3 akhir. Alat penghilang trauma? Untuk apa? Mereka semua yang selamat, kini telah mendapatkan kondisi ideal yang diidamkan manusia masa kini. Populasi yang sedikit, ketenangan, udara bersih tanpa polusi, sumber makanan yang melimpah, dan lainnya, mau apa lagi? Mengapa mereka tidak move on dan menikmati hidup di dunia impian ini.

Saya lalu mencoba berpikir terbalik, mungkin kisah film ini bicara soal keterasingan sosok manusia dalam lingkungannya. Del adalah sosok cebol dan aneh, namanya saja “Del” (delete), seolah ia tak terhapus atau tak ada (dianggap) dalam lingkungannya. Sang ibu mungkin membuatnya kondisi mentalnya lebih tertekan. Coba lihat saja bagaimana Del tidak menggambar rumahnya dalam denah kota dan melempari rumahnya dengan batu ketika ia kecewa. Grace lalu datang dan memberinya gairah hidup, dan mereka berdua pun hidup bahagia. Seseorang lalu datang dan membawa pergi secara paksa sang gadis. Del berusaha memperjuangkan Grace hingga ia pun akhirnya tak sendiri (terasing) lagi. Hanya ini saja? Tema ini sudah terlalu sering disajikan dalam medium film, dan apa yang disajikan tak lagi merupakan suatu hal yang baru.

Di luar penampilan dua bintangnya yang tampil menawan, I Think We’re Alone Now menawarkan premis awal yang menarik, namun dengan pengembangan kisah dan pesan yang klise. Jika kamu merasa sendiri dan kesepian karena merasa dirimu aneh, carilah teman sepertimu, atau jika tidak, berdamailah dengan lingkunganmu. Begitulah kehidupan. Tak ada seorang pun yang ingin hidup sendiri. Dalam sebuah adegan, Grace bertanya pada Del, “Tidakkah semua orang anggap kamu ini orang yang aneh?”. Del menjawabnya dengan ringan, “Ya, tapi sekarang mereka semua sudah tidak ada”.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaAruna dan Lidahnya
Artikel BerikutnyaVenom
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.