Di antara sukses komersial dan kehebohan para monster raksasa dalam film-film feature-nya, studio pembuatnya menyelipkan seri Monarch: Legacy of Monsters. Seri ini memiliki total 10 episode yang berdurasi rata-rata 45 menit. Seri ini dirilis oleh Apple TV+ sejak bulan November 2023 lalu dan baru saja berakhir awal Januari 2024. Film ini dibintangi Wyatt Russell, Kurt Russel, Anna Sawai, Kiersey Clemons, Ren Watabe, Mari Yamamoto, Anders Holm, Joe Tippett, serta Elisa Lasowski. Lantas a0pa yang ditawarkan serinya untuk mendukung semesta sinematik, MonsterVerse-nya?

Serinya berkisah setahun setelah kejadian kemunculan Godzilla “G-Day” di San Fransisco. Plot serinya tumpang tindih melalui kilas balik sepanjang durasi 10 episode. Inti plotnya adalah latar belakang organisasi khusus, Monarch yang menyelidiki eksistensi para monster aka titan di bumi. Monarch rupanya sudah ada sejak dekade 1950-an yang dipelopori oleh ilmuwan Jepang, Keiko (Yamamoto), lalu Bill Randa (Holm), ahli zoologi serta seorang perwira  AS, Lee Saw (Wyatt Russel).

Kisahnya diawali dengan kakak beradik beda ibu, Cate (Sawai) dan Kentaro (Watabe) yang mencari ayah mereka, Hiroshi, putri Keiko dan Bill. Investigasi mereka yang dibantu Lee tua (Kurt Russel), bersinggungan dengan Monarch dengan segala kepentingannya untuk mencari portal yang menjadi akses para titan masuk ke bumi. Portal tersebut rupanya dulu adalah hasil temuan Keiko dan Bill, di mana Keiko jatuh ke dalam portal tersebut.

Di tengah hingar bingar para monster di atas, perlukah kisah ini semua? Motifnya jelas adalah sukses komersial film-film feature-nya. Semesta sinematiknya diawali Godzilla (2014) garapan Gareth Edward. Film berkelas ini adalah yang pertama dan terbaik, di mana plotnya berimbang antara aksi para monster dengan sisi drama, dikemas dalam sentuhan berkelas sang sineas. Setelahnya, franchise ini hanyalah pertarungan besar para titan plus kehadiran monster ikonik King Kong sebagai bentuk kompromi penonton barat. Hanya murni efek visual dan aksi semata, tak ada yang benar-benar peduli dengan mereka. Sekarang, apa peduli kita pada Monarch yang simbolnya selalu muncul pada film-filmnya? Secara ringkas, tidak ada.

Baca Juga  Reborn Rich

Satu pertanyaan besar adalah, ke mana semua karakter di serinya selama film-film feature-nya berjalan? Faktanya, pemerintah AS telah tahu eksistensi para monster jauh sebelum G-Day. Tampak sekali, plotnya memaksakan naskah serinya ini untuk masuk dalam skema besar MonsterVerse. Melihat tren sekarang, hal ini tentu bisa kita maklumi. Jangan-jangan pula, sosok karakter dan beberapa lokasi di Jepang pada plotnya juga hanya sebagai bentuk kompromi asal muasal sang monster.

Dari titelnya, film ini mengesankan latar kisah Monarch dengan segala problematiknya. Nyatanya, film ini lebih dominan sisi drama keluarga dan persahabatan. Sosok Keiko menjadi sentral yang menjadi penyeimbang antara sisi drama dengan urusan birokrasi pemerintah dengan Monarch. Di masa kini, Hiroshi (putri keiko) menjadi sentral yang menjadi rujukan kuat cerita bagi Cate, Kentaro, May, dan tentu saja Lee yang punya relasi masa silam dengan Monarch. Dua kisah besar ini saling tumpang tindih, kadang jelas, kadang membingungkan, dan seringkali pula perpindahannya mematikan mood cerita. Lalu ke mana para monsternya? Jika kamu mencari ini, mereka hanya muncul sekilas yang jika ditotal rasanya hanya beberapa belas menit saja.

Monarch: Legacy of Monsters merupakan eksplorasi lemah sisi drama di antara gegap gempita aksi para monster. Urgensi kisah seri ini apa, selain eksposisi tentang Monarch? Bisa jadi kelak, beberapa karakter di serinya ini bakal muncul dalam feature-nya. Film-film besarnya (selain Godzilla) seperti kita tahu adalah aksi para gigantik yang saling baku hantam tanpa banyak sisi drama. Kehadiran mereka tidak mampu dikontrol oleh umat manusia. Bumi secara literal milik mereka dan manusia hanya bisa menonton mereka saling bertarung. Siapa yang menang, tidak ada yang peduli (setidaknya saya). Konsep menarik Godzilla sebagai bentuk penyeimbang keharmonisan alam yang diusung pada kisah awalnya (Godzilla, 2014) sudah melenceng jauh.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
55 %
Artikel SebelumnyaSehidup Semati
Artikel BerikutnyaAncika: Dia yang Bersamaku 1995
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.