Satu lagi gerak cepat Marvel Cinematic Universe (MCU) untuk membangun fase ke empatnya adalah melalui sosok superhero muda, Ms. Marvel. Seri ini terhitung adalah seri ketujuh dari miniseri produksi Marvel Studios yang memiliki kontinuiti dengan kisah MCU. Ms. Marvel terdiri dari 6 episode yang berdurasi rata-rata 40 menit yang mulai dirilis sejak 8 Juni lalu dan serinya berakhir 13 Juli ini. Seri superhero ini digarap naskahnya oleh Bisha K. Ali dengan Adil dan Bilall Falah menyutradarai serinya. Film ini dibintangi sederetan bintang muda, yakni Iman Vellani, Matt Lintz, Yasmeen Fletcher, serta Rish Shah. Lantas mampukah Ms. Marvel melanjutkan tren positif seri-seri MCU sebelumnya?

Kamala (Vellani) adalah seorang gadis muslim muda yang amat mengidolakan Captain Marvel alias Carol Denvers. Namun, keluarganya, khususnya sang ibu, selalu membatasi gerak Kamala dalam bergaul. Suatu hari, sang nenek mengirimkan sebuah gelang unik yang dianggap ibunya sebagai barang tak berguna. Ketika sang ibu melarangnya untuk pergi ke Avengers Con, Kamala pergi diam-diam bersama sahabatnya, Bruno. Kamala ikut dalam kompetisi kostum Captain Marvel, di mana ia mengenakan gelang sang nenek sebagai asesorisnya. Sesuatu pun terjadi ketika bahaya mengancam di mana gelang sang nenek memberikan Kamala sebuah kekuatan super yang unik. Sementara sang gadis ber- euforia dengan kekuatannya, ia tak menyadari jika ada pihak mengincar gelang neneknya.

Apa yang unik dari seri Ms. Marvel? Jelas adalah latar kisah Asia selatan (India-Pakistan) lengkap bersama atribut muslimnya. Walau tak sedikit film yang pernah membahas soal muslim di AS tapi kini bedanya adalah MCU. Bagi fans muslim (MCU), Ms. Marvel adalah film mereka. Dengan sosok Kamala yang masih remaja dengan skema plot besarnya, benturan “budaya dan tradisi” menjadi tontonan segar untuk semesta sinematiknya. Misal saja, menyoal hijab, shalat, ibadah di mesjid, makanan, tradisi pernikahan, haram dan halal, dan lainnya. Kadang ini pun masih diselipkan dalam “joke-joke” ringan yang bisa jadi hanya dipahami penonton berlatar muslim. Ini berbeda dengan Moon Knight yang hanya menyuguhkan setting lokasinya saja (Mesir). Sayangnya, untuk plot besarnya banyak hal yang tidak terjelaskan dengan memuaskan.

Baca Juga  Fear Street Part One: 1994

Ms. Marvel adalah film atau seri yang kesekian puluh dari perjalanan panjang MCU sejak 2008. Latar sang superhero kini tidak lagi dijelaskan dalam satu proses repetitif yang menjadi tradisi genrenya, seperti plot Iron Man, Captain America, Doctor Strange, dan lainnya. Ms. Marvel lebih ringkas dan ini yang menyebabkan banyak hal tidak terjelaskan secara detil. Dua kubu, kelompok Jin dan Clandestine tidak dipaparkan secara rinci, siapa sebenarnya mereka dan apa yang mereka inginkan? Mengapa gelang sakti milik Kamala begitu penting? Penjelasan dialog hanya sekilas jelas tidak cukup dan Kamala pun tidak berkesan meresponnya dengan serius. Lalu konflik India-Pakistan yang seolah menjadi metafora kisahnya, tidak dieksplorasi lebih serius padahal ini potensi besar bagi plotnya. Alhasil, karena banyak hal tidak terjelaskan, kita hanya melihat Kamala unjuk kekuatan tanpa ada tujuan yang lebih mulia di balik semuanya.

Walau tidak selevel dengan miniseri MCU lainnya, Ms. Marvel cukup memiliki energi untuk memberi suntikan segar melalui segala atributnya, serta sebagai pembuka kisah yang lebih besar. Satu kejutan besar di mid-credit scene pada episode terakhir memberi potensi cerita yang menarik. Kamala dan Carol Danvers akan tampil dalam The Marvels yang dijadwalkan rilis pertengahan tahun depan. Bisa jadi banyak misteri yang masih belum terjelaskan di seri ini, bakal terkuak besok. Walau banyak memiliki kelemahan, setidaknya Ms. Marvel mampu memberi sesuatu yang berbeda bagi semesta sinematiknya melalui sosok superhero yang bermodal kekuatan komunitasnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Sea Beast
Artikel BerikutnyaIvanna
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.