Artemis Fowl adalah seri novel fantasi petualangan populer tulisan Eoin Colfer yang rilis perdana pada tahun 2001. Disney yang mengadaptasi novel ini ke medium film, tentu berharap seri ini adalah the next Harry Potter. Dengan bermodal USD 125 juta serta sineas kawakan Kenneth Branagh (Thor, Murder on the Orient Express), film ini memang memiliki pencapaian efek visual dan setting yang mengagumkan. Namun dengan kombinasi sederetan bintang senior dan muda, seperti Josh Gad, Colin Farrel, Judy Dench, Ferdia Shaw dan Lara McDonnel, rupanya tak cukup untuk mengangkat film ini.
Seorang miliuner eksentrik, Artemis Fowl Sr. (Farrel) dituduh mencuri benda-benda antik bernilai yang diyakini bisa membuktikan adanya dunia lain. Satu benda yang hilang, yakni Oculos, rupanya membuat geger tak hanya dunia manusia, namun juga dunia peri yang tinggal di inti bumi. Situasi ini diperburuk oleh sang miliuner yang diculik oleh peri jahat yang berambisi menguasai dua dunia. Sang putra, Artemis Fowl Jr. (Shaw) bersama dua asisten setianya, mencoba untuk menguak misteri ini melalui petunjuk yang diberikan oleh sang ayah. Sementara pihak peri pun, mengutus agen mudanya, Holly Short untuk mencari Okulos.
Hmm.. agak bingung juga untuk menjelaskan kisahnya karena saya sendiri yang awam dengan novelnya memang kebingungan. Hampir sepanjang waktu, saya hanya berguman, what the heck is going on? Alur kisahnya dengan sembrono dituturkan secara cepat, tentu berakibat penonton awam tak mampu mencerna berbagai informasi cerita yang sedemikian banyak. Di tengah kebingungan, penonton juga tidak diberi cukup waktu untuk bisa berkenalan lebih dekat dengan tokoh-tokoh utamanya. Belum lagi, pencapaian setting-nya yang demikian luar biasa, mampu mengalihkan perhatian kita, lebih dari kisahnya.
Seri Harry Potter adalah satu contoh ideal bagaimana penonton dengan perlahan mampu dibawa masuk ke dunia sihir melalui sosok Harry. Sosok Artemis yang jenius bukanlah sosok Harry yang lugu dan dengan mudah kita bisa berempati. Sosok jenius ini dengan gaya dinginnya seolah tak butuh empati kita karena ia selalu bekerja serius seolah tanpa memedulikan penonton. Penonton butuh sosok “normal” yang bisa menjelaskan segalanya secara sederhana dan ini yang tak ada di filmnya. Saya tak tahu bagaimana alur kisah novelnya, yang jelas tak mungkin segalanya berjalan secepat ini tanpa penjelasan yang cukup. Ini di luar kebiasaan sang sineas yang memiliki latar teater kuat di mana penokohan cerita adalah satu hal yang teramat penting.
Di luar pencapaian elemen mise_en_scene (khususnya setting) serta efek visual yang luar biasa, Artemis Fowl dengan tempo plot cepat, tak mampu membangun kisah yang koheren dan empati, bagi yang belum membaca novelnya. Penonton, setidaknya saya, hanya kebingungan di tengah gemerlap setting dan efek visual yang memesona. Iya benar, kita pada akhirnya tahu semua yang terjadi, namun kita sudah terlanjur tak peduli. Seberapa pun kritis dan bahayanya situasi cerita, sulit untuk menggugah emosi kita. Mengapa harus Branagh? Film dengan dominasi aksi dan efek visual macam ini bukan ranah sang sineas. Thor pun tak seperti ini, dialog dan drama masih lebih dominan dari aksinya. Kita lihat saja, apa seri ini bakal berlanjut? Dugaan saya tidak.
Stay safe and Healthy!