Fistful of Vengeance adalah film aksi thriller supernatural yang disutradarai oleh Roel Reiné. Film ini merupakan kelanjutan kisah dari serialnya, Wu Assasins (2019), yang dirilis Netflix. Bermain seperti dalam serinya adalah aktor laga kita, Iko Uwais, lalu Lewis Tan, Lawrence Kao, dan Juju Chan. Plotnya sendiri merupakan kelanjutan dari ending kisah serinya. Diceritakan Jenny tewas terbunuh dan Kai (Uwais), Xin, dan kakak Jenny, Tommy pergi ke Thailand untuk memburu sang pembunuh.

Konon kisah film ini bisa berdiri sendiri tanpa harus perlu menonton serinya. Oh really! Bagi penonton yang belum melihat serinya, rasanya bakal sulit mencerna kisahnya. Oke, setidaknya kita bisa membedakan pihak protagonis dan antagonis, walau dalam perkembangan cerita terkadang campur aduk. Sepanjang kisahnya, jujur saja, saya nyaris tidak paham apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan karena belum menonton serinya, namun karena diskontinuiti alur plotnya. Banyak adegan seperti melompat tanpa banyak penjelasan. Naskah yang lemah ditambah tempo plot amat cepat, plus logika cerita yang amburadul, membuat kehilangan arah sejak awal hingga akhir.

Lupakan naskahnya, toh film ini hanya semata untuk aksi dan koreografi tarungnya. Ini adalah argumen yang sangat konyol. Bagaimana mungkin kita bisa larut ke dalam aksinya jika kita tidak tahu apa yang terjadi? Apa yang dipertaruhkan? Lubang plot yang muncul di sana-sini semakin membuat kacau balau. Ada pembantaian masal di kota, dengan entah berapa puluh korban tewas, lalu ke mana pihak polisi? Dalam pengejaran, ketika mobil mereka terpojok dan puluhan musuh mengepung dan menembaki, bagaimana mungkin mereka bisa lolos dari situasi tersebut? Ketika pertarungan berubah tangan kosong, entah ke mana senjata api yang dibawa para penjahat. Kekonyolan macam ini nyaris ada tiap menit. OMG, saya hanya bisa menggeleng kepala, limit kita seperti seperti dites, seberapa bodohkah kita sebagai penonton?

Baca Juga  The High Note

Fistful of Vengeance adalah satu contoh ideal film aksi thriller buruk, nyaris dalam semua aspeknya. Tidak hanya puas sekadar naskah buruk, secara teknis pun tidak kalah edannya. Sisi editing adalah yang terburuk dari semuanya. Editing amatiran macam ini, apa tidak ada kontrol estetik sama sekali dari pembuat film? Bahkan hingga screen directing (orientasi arah kanan/kiri) pun bisa keliru. Belum lagi transisi adegan dan sekuen (bahkan shot) tampak kasar seolah film ini tidak digarap secara serius. Sebelum menonton memang tidak banyak ekspektasi, namun siapa sangka filmnya bisa seburuk ini. What a joke.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaThe Book of Boba Fett
Artikel BerikutnyaDownfall: The Case Against Boeing
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

    • Terima kasih. Ya, bagaimanapun, setiap orang pada akhirnya memiliki sudut pandangnya masing-masing dalam menilai film, termasuk akting dari salah seorang aktornya yang kita kenal.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.