Adu panco, adalah satu jenis olahraga yang amat langka difilmkan. Apa ada yang pernah ingat Over the Top? Rasanya tidak untuk generasi milenial. Kini, tidak hanya satu olahraga ini yang diangkat, namun juga kontesnya adalah untuk perempuan. How about that? Golden Arm diarahkan oleh sineas Maureen Bharoocha dengan dibintangi Marry Holland, Betsy Sodaro, Eugene Cordero, serta beberapa atlet adu panco sungguhan.
Melanie (Holland) memiliki sebuah usaha toko roti yang terbilang sepi. Suatu ketika sobat lawasnya, Danny, yang juga pegiat adu panco, mengajaknya untuk mencari pekerjaan lepas di wilayah seberang. Di balik itu, Danny ternyata ingin mengajak Melanie untuk ikut kompetisi adu panco untuk memburu ambisi pribadinya, yakni mengalahkan Brenda, The Bone Crusher. Melanie yang teriming-iming hadiah USD 15.000 pun akhirnya menerima tawaran Danny.
Di luar jenis olah raganya, untuk genrenya, plotnya memang tidak ada yang baru lagi. Sosok Melanie yang feminim dan terlihat rapuh, menjadi sosok underdog ideal bagi protagonis utama. Dipertegas dengan format struktur tiga babak yang semua kelokan plotnya mudah diantisipasi. Formula tipikal genrenya, terfokus pada usaha sang tokoh untuk menggapai level tertinggi. Golden Arm memang bekerja seperti yang diharapkan, sementara titik lebih filmnya justru ada pada kasting dan sosok karakternya.
Jarang sekali melihat film yang didominasi para tokoh perempuan yang begitu maskulin. Melanie bagaikan seorang princess di antara para perempuan berotot di sekitarnya. Situasi kontras inilah yang dimanfaatkan betul oleh naskahnya untuk mencari celah humor di antaranya. Coba bandingkan, nama-nama alias sangar, seperti The Bone Crusher, Dominator, Killer Kate, dengan nama Breadwinner. Ha ha ha. Penampilan para kastingnya begitu natural, penuh dialog kasar yang dibawakan dengan ceplas-ceplos. Satu momen romantis Melanie dan Greg, saya pikir ini adalah salah satu dialog paling natural yang pernah saya tonton. Chemistry mereka seolah mampu membuat kita layaknya bukan menonton film tapi benar-benar mendengarkan orang berdialog.
Walau klise untuk genrenya, Golden Arm memiliki kekuatan pada pesona kastingnya dengan akting, dialog, dengan gaya humornya yang cerdas dan natural. Saya begitu yakin jika para pemainnya banyak berimprovisasi dalam dialog mereka sehingga bisa terdengar amat luwes. Setidaknya, film ini menawarkan sesuatu yang segar melalui penampilan kastingnya. Ketimbang aksinya, saya justru lebih menikmati dialognya. Satu contohnya adalah satu rangkaian dialog panjang antara Melanie dan Danny di atas truk. Saya bisa mendengarkan mereka berdialog seperti ini sepanjang durasi film.
…
“How did you get into a bar fight?”
“Oh My God, there’s a million way to get into a bar fight. You wanna hear my top three?”