Meander (2020)
90 min|Drama, Horror, Mystery|09 Jul 2021
5.4Rating: 5.4 / 10 from 11,517 usersMetascore: 63
A woman finds herself locked in a series of strange tunnels full of deadly traps.

Meander adalah film thriller fiksi ilmiah produksi Perancis arahan Mathieu Turi. Film unik ini dibintangi oleh Gaia Weiss serta Peter Franzen. Dua tahun lalu, film produksi Spanyol The Platform (El Hoyo) membuat sensasi dengan kisah dan pendekatan estetik yang unik. Dengan premis dan konsep mirip, Meander mencoba menyajikannya dengan lebih sederhana dan minimalis. Seberapa baguskah film ini dibandingkan film-film sejenisnya?

Satu peristiwa nahas menimpa Lisa, dan ia terbangun di sebuah ruang sempit dan berlorong entah di mana. Sadar jika ia harus keluar dari tempat tersebut, Lisa mendapati dirinya menyusuri di lorong demi lorong, yang masing-masing memiliki deadline waktu sebelum sesuatu yang mematikan datang. Lisa juga mendapati dirinya terjebak dalam trauma masa lalunya karena kehilangan putrinya yang tewas mengenaskan.

Jika saja film ini rilis sebelum The Platform atau beberapa tahun sebelumnya, bisa saja Meander menjadi salah satu film ilmiah terbaik sepanjang masa. Meander tidak bisa kita lihat secara literal narasinya karena tak ada yang logis dalam plotnya. Absurd dan tak ada penjelasan yang cukup dari latar kisahnya. Hal ini bisa terjadi karena film ini bekerja di tingkat penceritaan yang berbeda, seperti halnya the Platform. Bicara plotnya, film ini memiliki banyak kemiripan setting dengan The Cube, walau film ini memiliki premis yang berbeda. Bagi fans horor/thriller/sci-fi, bisa jadi film ini hanya terbaca sebagai film aksi horor yang amat menegangkan. The Meander memiliki makna berlapis dan bisa jadi memang tidak mudah dibaca penonton awam.

Pada level makna yang lebih dalam, Meander secara sederhana adalah bicara tentang trauma seorang ibu setelah kehilangan putrinya. Ini mirip dengan konsep cerita film Gravity. Satu rentang kisahnya adalah bagaimana proses sang ibu hingga ia akhirnya bisa “move on” melepaskan putrinya. Sang ibu dalam satu momen berniat ingin mati menyusul putrinya, sebelum akhirnya ia menemukan semangat hidupnya kembali. Meander juga memiliki konsep kisah yang sama, namun jika hanya konflik internal ini saja, jelas terlalu dangkal.

Baca Juga  Asteroid City

Sejak awal film, sudah ada sentilan kecil informasi yang mengarah ke sisi spiritualitas (religius). Film ini secara lebih dalam memang bicara tentang ini, bahkan lebih jauh bicara tentang konsep reinkarnasi. Sebuah proses panjang bagaimana manusia bisa bertemu dengan Sang Pencipta, atau bisa sampai ke Surga. Jawabnya adalah dengan penderitaan demi penderitaan yang luar biasa, fisik, mental, hingga akhirnya tidak ada rasa takut lagi dalam diri seorang manusia. Lahir, mati, dan lahir kembali, dan seterusnya. Film ini bicara tentang ini semua, namun jika dibandingkan The Platform, Meander terhitung gamblang. Kisahnya mudah terbaca ke mana arahnya sejak babak paruh kedua.

Namun, konsep berat yang sudah terantisipasi ini tentu tidak mengurangi nilai estetik filmnya yang mampu mengemasnya melalui aksi horor/thriller dengan setting unik dan pengadeganan yang luar biasa menegangkan. Banyak adegannya yang berpacu dengan waktu, dijamin tidak akan membuat kita duduk dengan nyaman. Terlebih bagi yang klaustrofobia bisa jadi akan menjadi pengalaman yang sangat menakutkan. Satu lagi, faktor utama kekuatan film ini adalah penampilan kuat sang aktris, Gaia Weiss. Sang bintang adalah satu-satunya faktor yang membuat kisahnya terlihat humanis di antara lorong-lorong mekanik yang tak berujung. Weiss yang membuat film ini menjadi hidup.

Meander mampu menyajikan sempurna sebuah premis berat melalui pendekatan estetik unik dan berkelas, serta penampilan memukau dari sang bintang. Film dengan tema dan konsep religius macam ini memang punya potensi untuk bisa dieksplorasi dalam banyak cara yang terbilang absurd. Film-film masterpiece bertema serupa, sebut saja 2001: A Space Oddysey,The Matrix, The Tree of Life, Gravity, The Killing of Sacred Deer, termasuk The Platform, semakin memperkaya khazanah medium film dan genrenya. Dalam momen hidup tertentu, manusia pasti akan mempertanyakan eksistensi hidupnya dan Tuhan. Bisa jadi medium film telah, atau belum bisa, atau tidak akan pernah menjawabnya. Namun, film-film ini cukup memiliki nilai serta spirit yang bisa menjadi titik awal sebuah pencarian yang bisa jadi tak akan berakhir. Hidup layaknya sungai yang berkelok-kelok (meander) hingga kelak mencapai lautan luas tak berujung.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
97.5 %
Artikel SebelumnyaDie in a Gunfight
Artikel BerikutnyaFFWI: Apresiasi Wartawan untuk Perfilman Tanah Air
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.