Obi-Wan Kenobi (2022)
N/A|Action, Adventure, Sci-Fi|27 May 2022
7.0Rating: 7.0 / 10 from 239,874 usersMetascore: N/A
Jedi Master Obi-Wan Kenobi must save young Leia after she is kidnapped, all the while being pursued by Imperial Inquisitors and his former Padawan now known as Darth Vader.

Setelah spin-off-nya pada semesta versi teaternya gagal, seri Star Wars memang masih setajam light saber milik para Jedi, khususnya melalui seri The Mandalorian. Miniseri terakhirnya, Bobba Fett pun terangkat karena sosok Mandalorian. Tak tanggung-tanggung, kini mereka kembali dengan merilis miniseri dengan memunculkan satu tokoh ikoniknya, Obi-Wan Kenobi. Tak hanya itu, sosok antagonis legendaris, Darth Vader pun muncul kembali. Dengan dua tokoh besarnya, mampukah kini mengangkat serinya? Tidak juga.

Obi-Wan Kenobi dibagi menjadi 6 episode yang berdurasi antara 36 – 53 menit. Seri ini diarahkan oleh sineas asal Kanada, Deborah Chow. Bermain dalam film ini adalah dua bintang aslinya, yakni Ewan McGregor, Heyden Christensen, serta beberapa nama baru, Moses Ingram, Sung Kang, Vivien Lyra Blair, Kumail Nanjiani, serta Rupert Friend. Kisahnya sendiri berlatar 10 tahun setelah peristiwa Star Wars Episode 3: Revenge of the Sith.

Setelah kejadian pembantaian para jedi (Order 66), Obi-Wan (McGregor) bersembunyi dan membaur dengan warga planet Tatooine di mana ia juga masih bisa mengawasi putra Anakin, Luke yang masih bocah. Kekaisaran masih saja membinasakan semua Jedi yang tersisa melalui kelompok Inquisitors. Sementara Leia kecil yang tinggal Alderan, diculik oleh para penyelundup. Sang ayah angkat, Organa, meminta tolong Obi-Wan untuk mencari putrinya. Obi-Wan pun terseret dalam satu petualangan yang memaksanya untuk menghadapi masa lalunya, yakni Anakin alias Darth Vader.

Premis plot serinya jelas tidak terlalu buruk untuk sebuah naskah yang memaksa dan sengaja dicari-cari. Terlihat sekali para penulis amat berhati-hati agar tidak mengesampingkan logika cerita yang sudah eksis sejak awal. Secara umum jelas tidak ada satu pun logika yang terlewat, hanya saja satu dua hal terasa canggung, khususnya pertemuan dua sosok besar Obi-Wan dan Anakin. Tak ada yang epik di sini, serinya terasa sepi senyap. Tak ada gelegar dan hentakan hebat yang membuat “Star Wars” adalah Star Wars. Satu sosok di antara keduanya adalah Reva Sevander, seorang jedi yang membelot. Alasan spoiler membuat saya tidak bisa menjelaskan sesosok ini, satu komentar saja, menggelikan. Banyak sosok lainnya juga tereksplorasi setengah-setengah, jauh berbeda dengan seri Mandalorian.

Baca Juga  Fear Street Part Three: 1666

Seperti standar serinya, Obi-Wan memiliki bujet yang lebih dari cukup untuk membuat setting yang memukau dengan varian lokasi yang teramat banyak. Sisi teknis, khususnya sinematografi betul-betul disajikan amat memukau, tidak kalah dengan film versi teaternya. Namun, amat disayangkan satu faktor yang membuat seri ini tanpa greget adalah score. Konon, John William sendiri yang menulis sendiri theme song seri ini, namun kemanakah theme song besarnya? Satu faktor yang memberi suntikan besar bagi film-film versi teaternya adalah ilustrasi musiknya. Star Wars Theme, Jedi (The Force) Theme, hingga score ikonik Darth Vader, Imperial March. Seri ini kehilangan ruh besarnya karena tidak hadirnya musik-musik ini. Bisa dimaklumi tapi saya gagal paham.

Obi-Wan Kenobi adalah sebuah petilan penting dari sebuah saga ikonik, namun tak memilili cukup “force” yang seharusnya seri ini miliki. Seri ini jika dibuat versi teaternya rasanya bakal lebih sukses ketimbang Solo. Ah andai saja. Pertarungan klimaks antara Obi-Wan dan Vader punya potensi besar menjadi yang terhebat. Para pembuat seri ini rasanya bakal berbuat apa saja untuk bisa melanjutkan saga ini, bukan karena substansinya, tapi uang, karena fanbase yang luar biasa besar. Bagi saya, sebagai fans berat seri aslinya, seri ini sudah habis, dan mereka harus mencoba meracik ulang konsepnya tanpa harus tergantung dari kisah aslinya. Untuk apa sesuatu yang sudah menjadi legenda harus dibongkar habis sedemikian rupa yang justru merusak franchise ini? Tidakkah ada ide kreatif yang lebih orisinal? C’mon man.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaShadow Game – Europe on Screen 2022
Artikel BerikutnyaKeluarga Cemara 2
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.