The Shadow in My Eye (2021)
107 min|Drama, History, War|09 Mar 2022
7.3Rating: 7.3 / 10 from 16,900 usersMetascore: N/A
The fates of several Copenhagen residents collide when a WWII bombing mission accidentally targets a school full of children.

The Bombardment aka The Shadow in My Eye adalah film biografi Perang Dunia II yang dirujuk dari peristiwa nyata pemboman di Kota Kopenhagen. Film produksi Denmark ini diarahkan dan ditulis oleh sineas senior Ole Bornedal. Film ini diperankan para pemain lokal, antara lain Alex Høgh Andersen, Fanny Bornedal, serta tiga bintang cilik, Bertram Bisgaard, Ester Birch Beck, serta Ella Josephine Lund Nilsson. Sungguh mengejutkan, film rilisan Netflix ini bagai permata tak bernilai bagi medium film dengan konteks global apa yang tengah kita hadapi saat ini.

Di ambang akhir PD II, pada Bulan Maret 1945, angkatan udara Inggris berniat untuk membom satu bangunan gedung di tengah ibukota Denmark, Kopenhagen. Bangunan ini diisi oleh pasukan Gestapo (Nazi) untuk menawan para pemberontak lokal. Misi yang telah direncanakan begitu matang ternyata meleset dari perkiraan semula.

Segmen pembuka filmnya, dijamin bakal membuat shock penonton ketika pesawat pasukan sekutu salah tembak ke satu kendaraan rombongan keluarga yang akan menghadiri pernikahan. Aksi ini rupanya menjadi awal pertanda buruk peristiwa yang akan terjadi berikutnya. Kisahnya, rupanya sama sekali tidak mengarah ke investigasi peristiwa ini, yang dengan sederhana cukup diringkas dengan dialog, “lain kali lebih cermat melihat sasaran”, bagitu yang tertulis di surat sang komandan kepada para pilotnya. Nyawa seolah tak ada harganya. Ironisnya, memang ini pesan yang ingin disampaikan filmnya.

Kisahnya terbagi menjadi empat segmen besar yang mewakili beragam perspektif tokohnya. Pertama adalah Henry (Bisgaard), sang bocah yang trauma sehingga “bisu” akibat melihat adegan “opening” di atas secara langsung. Henry pun dikirim ke Kopenhagen untuk bersekolah di sana dan berkawan dengan dua gadis cilik, Eva (Nilsson) dan Igmor (Beck). Kedua adalah guru sekolah, Suster Teresa (Bornerdal) yang gelisah akibat brutalnya perang dan mulai mempertanyakan Tuhan. Ketiga adalah Frederick (Andersen), seorang pemuda lokal yang bergabung menjadi relawan Gestapo. Keempat adalah salah satu pilot Inggris yang menerbangkan pesawat pembom yang dikirim ke Kopenhagen.

Baca Juga  Kukira Kau Rumah

Keempat sudut pandang unik ini menjadikan alur kisahnya menjadi begitu menarik karena secara emosional kita masuk ke tiap karakternya. Semua ini menjadi eksposisi menjelang peristiwa klimaks untuk menguatkan sisi dramatik plotnya. Apa yang mereka rasakan, kita juga ikut merasakannya. Uniknya lagi, keempat segmen ini tersaji dengan genre dan mood yang berbeda sehingga terasa fresh tiap momennya. Misal saja, nuansa absurd pada segmen Teresa yang kontras dengan segmen thriller sang pilot, atau adegan toko roti pada segmen tiga bocah. Masing-masing segmen rasanya punya kekuatan cukup untuk dibuat materi filmnya sendiri.

Lalu secara pencapaian teknis, film ini boleh dibilang istimewa. Adegan di udara dan ledakan bom begitu nyata tersaji sehingga sulit dibedakan antara pencapaian efek visual dan sungguhan. Sisi sinematografi khususnya, menjadi kekuatan utama filmnya, selain sisi setting dan akting pemain. Satu “follow shot” panjang pada adegan ending-nya adalah salah satu yang terbaik sepanjang saya menonton medium film. Begitu powerful-nya, mustahil kita tidak meneteskan air mata. Semua pencapaian di atas tidak berarti tanpa kekuatan akting para pemainnya, khususnya tiga kasting ciliknya yang bermain luar biasa, serta tentu Bornerdal yang bermain kuat sebagai sosok Teresa.

Dengan kisah dokudrama perang menyentuh melalui pendekatan para tokohnya, The Bombardment adalah salah satu film terbaik di genrenya serta relevan dengan situasi yang tengah dunia hadapi sekarang. Perang, tidak ada seorang waras pun yang mau menghendaki ini selain hanya berujung pada siksa dan derita bagi semua pihak. Kisah film ini menjadi tontonan penting yang cukup untuk menjadi pelajaran besar agar kejadian di masa lalu tidak terulang. Saya sangat berharap, film ini bisa menjadi jawara di perhelatan Academy Awards tahun depan. Mari tonton film ini karena dijamin kamu akan mendapatkan satu pengalaman sinematik maupun batin yang berbeda.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaFresh
Artikel BerikutnyaThe Adam Project
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

  1. Hai, sy nonton tadi malem, bagus, ending cerita Eva pulang kerumah makan bubur sarapannya. Tapi sy masih agak confuse dgn nasib Igmore dan Teresa, mungkin Igmore meninggal tapi kenapa Teresa terjun ke air disaat datang pertolongan? dan apa yg terjadi setelahnya? Apakah bom meledak di basement tsb? Atau Igmore dan Teresa tersedot air? Tksh sdh mau peduli dgn pertanyaan saya.

    • Memang tidak banyak dijelaskan soal itu. Mgkn Teresa merasa gagal tidak bisa mampu menolong Igmore sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dari credit, tidak tertulis nama-nama karakternya, bisa jadi hanya fiktif. Rasanya ini tidak masalah untuk menyelesaikan dengan cara demikian. Poinnya adalah percobaan untuk merekonstruksi kisahnya, dan film ini menurut penulis terbilang berhasil. Maaf atas keterlambatan merespon.

      Admin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.