Dalagang Bukid (1919)

Awal Perkembangan Sinema Hingga Pasca Perang Dunia II

Sejarah gambar bergerak di Filipina dimulai dengan eksibisi Phonograph di Salon de Pertierra pada tanggal 1 januari 1987. Baru beberapa bulan berikutnya menyusul eksibisi Cinematograph milik Lumiere bersaudara. Pada tahun berikutnya, seorang lokal, Antonio Ramos yang membeli Cinematograph mulai mendokumentasikan kota, landmark, serta panorama alam lokal yang kiprahnya diikuti oleh beberapa pembuat film asing. Tahun-tahun selanjutnya menunjukkan perkembangan yang pesat dengan munculnya tempat-tempat eksibisi yang didominasi oleh film-film Hollywood.

Pada awal 1910-an tercatat La Vida de Rizal, adalah film fiksi pertama yang diproduksi di Filipina yang dibuat oleh produser asal Amerika yang lalu diikuti beberapa produser asing lainnya. Namun tidak hingga 1919 akhirnya pembuat film lokal memproduksi film mereka sendiri. Dalagang Bukid yang digarap dan produksi oleh Jose Nepomuceno tercatat adalah tercatat film pertama yang diproduksi sineas lokal. Film ini diadaptasi dari pertunjukan lokal populer (zarzuela). Pada dekade berikutnya, Jose memproduksi beberapa film lagi, diantaranya adalah karya masterpiece-nya, Noli Me Tangere (1930). Atas jasa-jasanya Nepomuceno dinobatkan sebagai bapak dari sinema Filipina.

Teknologi suara yang tiba di awal dekade 30-an juga membuat para produser tertarik membuat film bicara. Tercatat film bicara Filipina pertama adalah Ang Asuwang yang dibuat produser asing. Sementara film bicara produksi lokal pertama tercatat adalah Punyal Na ginto (1932) karya sang maestro, Jose Nepomuceno. Film-film lokal yang menggunakan bahasa tagalog juga membuat film makin populer di masyarakat sehingga muncul bintang-bintang seperti, Mary Walter, Rosa del Rosario, Rosita Rivera, Gregorio Fernandez, dan sebagainya. Sekalipun film lokal telah populer namun film-film produksi Hollywood tetap mendominasi pasar.

Baca Juga  Lewat Djam Malam, Sisi Kelam Mantan Pejuang

Industri film di Filipina mengalami goncangan hebat setelah kota Manila diduduki oleh tentara Jepang pada awal tahun 1942. Produksi film terhenti sementara namun film-film Hollywood masing diperbolehkan beredar di bioskop. Para pelaku industri lokal sebagian beralih ke seni teater. Pertengahan tahun yang sama, otoritas Jepang mulai memasukkan film-film Jepang bertema propaganda yang berisi seni, budaya Jepang, serta heroisme tentara Jepang di masa perang namun kurang diminati masyarakat. Tercatat dua film lokal diproduksi pada era perang ini, yakni Tatlong Maria dan Down of Freedoom garapan Gerardo de Leon. Keduanya merupakan produksi studio Toho milik Jepang dan menggunakan kombinasi aktor-aktris lokal dan Jepang.

Setelah Filipina merdeka di tahun 1946, industri film berangsur-angsur mulai pulih namun ibukota Manila mengalami kerusakan parah, hampir seluruh bioskop dan studio hancur dan rusak berat. Setelah pulih, film-film Hollywood yang tak kena imbasnya kembali mendominasi pasar dan para produser lokal mulai berani membuat film. Uniknya, pengalaman buruk perang baru lalu memicu munculnya film-film bertema perang seperti Orasang Ginto, Ulila ng Watawat, Victory Joe, Garisson 13, So Long America yang semua diproduksi tahun 1946.  Film-film perang tersebut sangat populer dan sukses karena rupanya masyarakat Filipina haus akan hiburan bertema heroik dan patriotisme.

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaSekilas Sinema Malaysia
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.