Era 70-an, Era Sang Diktator
Terpilihnya sang diktator, Ferdinand Marcos, sebagai presiden, berimbas pula pada industri film. Pada tahun 1972, industri film dibawah kendali penuh pemerintah melalui aturan-aturan hukum yang ketat dan melalui badan sensor. Medium film juga digunakan sebagai media propaganda era baru dibawah Marcos. Film-film yang akan diproduksi naskahnya harus disetujui oleh dewan sensor yang mengutamakan rasa kebangsaan dan kecintaan pada negara. Film-film bertema politik yang berbeda visi dengan pemerintah serta film-film bomba (seks) dilarang untuk diputar. Para sineas justru cerdik mengakali ini dengan kemasan lain seperti membuat film-film aksi laga populer yang menggunakan formula plot melawan otoritas. Genre bomba muncul dalam bentuk lain, yang diistilahkan “wet look” dengan adegan-adegan sensualnya, seperti adegan renang atau mandi.
Era sensor ini justru memberi jalan kepada sineas-sineas muda independen, tercatat yang paling menonjol adalah Lino Brocka. Film-film Brocka merupakan kritik sosial yang menggambarkan keruntuhan moral dan sosial pada masyarakat Filipina kala itu. Film-filmnya seperti Maynila: Sa mga Kuko ng Liwalnag (1976) dan Insiang (1976) berbicara masalah kemiskinan dan akibatnya. Beberapa sineas muda lain yang juga produktif menghasilkan film-film bertema senada adalah, Ishmael Bernal, Celso Ad Castillo, Mike de Leon, serta Peque Galaga. Maynila karya Brocka dan Himala karya Ishmael Bernal bahkan dianggap sebagai film terbaik Filipina sepanjang masa. Di awal era 80-an, di ambang berakhirnya era Marcos sineas-sineas muda ini memproduksi film yang isinya menentang rezim Marcos, seperti Karnal, Sister Stella L., dan Bayan Ko: Kapit sa Patalim.