Dalagang Bukid (1919)

Era 80-an Hingga Sekarang

Pada era 80 hingga pertengahan 90-an (krisis moneter Asia), industri film Filipina sangat berkembang dengan produksi hingga lebih dari 200 film per tahunnya. Namun dibalik kuantitas produksi yang sangat besar tersebut ternyata kualitas dikorbankan. Film-film bertema remaja, horor, dan seks adalah yang mendominasi pasar. Sebagian besar film-film pada era ini memiliki naskah yang sangat buruk, pemain yang berakting seadanya, serta bumbu komedi murahan. Bujet produksi pun biasanya rendah dengan waktu produksi singkat hanya beberapa hari saja. Anehnya jumlah penonton bioskop justru semakin meningkat dan beberapa film sukses besar. Krisis moneter menghantam Asia ditambah dengan sensor yang semakin ketat, pajak film yang semakin besar, ongkos produksi yang makin besar, serta persaingan dengan televisi kabel menghancurkan industri film Filipina.

Menjelang dan memasuki milenium baru kondisi industri film semakin parah. Film-film Hollywood dengan segala pesonanya belum pernah sesukses ini sebelumnya melibas film-film lokal yang kini hanya diproduksi dua puluhan film saja per tahun. Studio-studio film bangkrut dan menutup usahanya. Pada masa inilah muncul sineas-sineas baru yang menggunakan format video (digital) karena biayanya jauh lebih murah ketimbang format film. Still Lives (1999) karya John Red serta film pendek Anino (1999) karya Raymond Red mempelopori gerakan baru ini. Anino bahkan meraih penghargaan Palm dOr di Cannes Film Festival. Sineas-sineas muda tidak lama setelahnya bermunculan dengan format baru ini dan film-film mereka lebih ditujukan untuk festival-festival film mancanegara.

Medio dekade 2000-an dan setelahnya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Beberapa film lokal bahkan sukses luar biasa dan ditonton jutaan penonton, dan ini kembali membangkitkan gairah industri film di Filipina. Rata-rata lebih dari 150 film diproduksi tiap tahunnya sejak tahun 2006.  Kebanyakan film-film yang sukses besar adalah bergenre drama roman dan komedi. Sukses besar diawali oleh Kasal, Kasali, Kasalo (2006) dan Enteng Kabisote 3 (2006) yang meraih pendapatan kotor lebih dari 120 juta peso. Tahun berikutnya sukses luar bisa juga diraih One More Chance (2007) dan A Love Story (2007) yang memecahkan rekor untuk pendapatan kotor film produksi lokal. Tren dari tahun ke tahun pun semakin meningkat. Tahun 2011, boleh dibilang adalah tahun emas bagi industri film Filipina karena tiga filmnya masuk dalam 10 film terlaris sepanjang masa diantara dominasi film-film Hollywood, yakni Enteng Ng Ina Mo, No Other Woman, dan The Unkabogable Praybeyt Benjamin.

Industri film di Filipina berkembang semakin pesat hingga kini dan semakin bisa bersaing dengan film-film besar produksi Hollywood. Uniknya sukses film komersil (mainstream)juga diikuti film nonmainstream-nya. Para sineas independen ini mengirim film-film mereka ke berbagai festival film besar di dunia dan beberapa diantaranya meraih penghargaan.  Tercatat salah satunya Brilante Mendoza yang pada tahun 2009 meraih penghargaan sutradara terbaik dalam Cannes Film Festival melalui filmnya Kinatay. Mendoza bahkan dipuji oleh presiden karena mampu mengangkat wajah industri film Filipina yang saat ini masih mencari bentuknya.

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaSekilas Sinema Malaysia
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.