Perkembangan era 2000 – Kini

Sejak era 70-an hingga akhir dekade ini rata-rata produksi film per tahunnya masih dibawah 20-25 film. Angka ini jauh dibawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia. Film-film Hong Kong dan Hollywood jelas bukan pesaing yang sebanding. Film-film lokal di pasar harus bersaing keras dengan film-film asal Indonesia, India, dan Filipina. Mulai pertengahan dekade ini juga dikeluarkan kebijakan baru yang membatasi penayangan film-film non malaysia di bioskop bahkan FINAS membuat aturan skim wajib tayang yang menjamin film-film lokal diputar selama satu minggu di bioskop. Hasilnya lumayan, namun tetap saja belum mampu menarik banyak penonton dan produksi terhitung minim, hingga tahun 2009 tercatat produksi hanya 26 film per tahun.

Sekali pun minim dari sisi produksi namun beberapa film mencatat sukses baik secara komersil maupun kritik. Beberapa film populer di era ini antara lain Senario lagi (2000), Dari Jemapoh Ke Manchestee (2001), KL Menjerit (2002), Laila Isabella (2003), Puteri Gunung Ledang (2004), Rock (2005), dan film superhero lokal yang sukses luar biasa, Cicak-Man (2006) serta sekuelnya, Cicak Man 2 (1998). Sementara Love Conquers All (2006) yang disutradarai oleh Tan Chui Mui meraih Tiger Award di ajang International Film Festival Rotterdam pada tahun 2007. Pada tahun berikutnya, Flower in the Pocket (2007) yang disutradarai oleh Liew Seng Tat meraih Tiger Award di International Film Festival Rotterdam.

Era 2010-an hingga kini menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Sekalipun produksi tercatat masih rendah namun film-film lokal mulai mengancam para pesaingnya. Film-film lokal terlaris sepanjang masa tercatat seluruhnya adalah produksi 2010 hingga 2012. KL Gangster (2011), film aksi kriminal garapan Syamsul Yusof menjadi pemuncak jawara box office lokal dengan meraih 11,74 juta Ringgit yang menggeser posisi Ngangkung (2010). Film melodrama, Ombak Rindu (2011) arahan Osman Ali sukses besar meraih hampir 11 juta Ringgit dan bersama KL Gangster menjadi dua film lokal teratas yang mampu meraih pendapatan kotor diatas 10 juta Ringgit. Namun sekalipun sukses besar film-film ini dianggap secara kualitas masih jauh di bawah standar.

Baca Juga  Ombak Rindu, Sajian Melodrama ala FTV

Sementara di kalangan sineas non-mainstream sekalipun tidak populer di negara sendiri namun sukses di berbagai ajang internasional. Para penggiat art-cinema ini dimotori oleh Yasmin Ahmad, Amir Muhammad, Ho Yuhang, Tan Chui Mui, dan James Lee. Mereka umumnya berani mengambil tema “tabu” yakni masalah sosial, ras, multi budaya, dan agama yang seringkali mengundang kontroversi serta guntingan sensor. Yasmin Ahmad melalui karya-karyanya, Sepet (2004), Gubra (2006), Mukhsin (2007), Muallaf (2008), serta Talentime (2009) berjaya di berbagai festival seperti Tokyo International Film Festival, Berlin International Film Festival, dan Festival 54th Asia Pacific Film Festival. Sepet dan Gubra bahkan sukses meraih film terbaik di ajang Malaysia Film Festival. Amir Muhammad banyak mengundang kontroversi melalui film-filmnya seperti The Big Durian (2003), Tokyo Magic Hour (2005), The Last Communist (2006), Apa Khabar Orang Kampung (2007), dan Malaysian Gods (2009).

Untuk mengembangkan industri perfilman pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan baru, yaitu mewajibkan dua film lokal diputar di bioskop setiap minggunya diberlakukan mulai tanggal 24 Mei 2012 baru lalu. Usaha lain tampak pula, insan perfilman Malaysia menjalin kerja sama dengan insan perfilman Indonesia melalui produksi Gerimis Mengundang (2012) yang diarahkan sutradara Malaysia Ahmad Idham. Sebelumnya juga pernah terjadi kerja sama sejenis antara lain produksi film Warkop Jodoh Boleh Diatur (1988), lalu Isabella (1990), serta Tipu Kanan Tipu Kiri (2008). Sinema Malaysia dalam perkembangannya mengalami pasang-surut dan masih jauh tertinggal dengan negara-negara besar Asia Tenggara lainnya. Namun dari perkembangan tiga tahun belakangan kondisi industri film Malaysia ke depan sepertinya menunjukkan tren yang positif.

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaNo Other Woman, Menjual Glamor dan Sensualitas
Artikel BerikutnyaSekilas Sinema Filipina
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.