Penantian lama akan sosok pahlawan super nusantara pasca-Gundala tiga tahun lalu akhirnya terbayarkan, dengan rilisnya Sri Asih. Wanita terpilih berhati mulia yang didasarkan pada cerita komik karya RA Kosasih. Lewat arahan Upi Avianto dengan naskah yang dia kerjakan bersama Joko Anwar, Sri Asih menampilkan para tokoh yang diperankan oleh Pevita Pearce, Jenny Chang, Surya Saputra, Jefri Nichol, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Reza Rahadian. Deretan perusahaan yang memproduksinya sendiri bukanlah nama-nama yang kecil. Kecuali Screenplay Bumilangit dan Bumilangit Studios, ada Legacy Pictures, SK Global, dan Screenplay Films. Benarkah memang terbayarkan seutuhnya? Atau masih menyisakan ketidakpuasan? Mari kita bahas.
“Tidak semua orang bisa dibeli dengan uang, Nona.”
Tumbuh sebagai wanita dengan kekuatan fisik berlebih, Alana (Pevita) selalu dilingkupi oleh godaan amarah terhadap ketidakadilan dan penindasan. Meski telah secara bertahap menjalani pelatihan kontrol emosi bersama ibu angkatnya, Sarita (Jenny Chang), tetapi gejolaknya tetap sesekali muncul. Sampai akhirnya Alana harus berurusan dengan salah satu bos mafia berbahaya, Prayogo (Surya Saputra), dan kehidupannya pun menjadi tak lagi sama. Identitasnya kemudian bukan lagi sebagai Alana sang perempuan petarung semata, tetapi lebih dari itu. Dan siapkah ia memikul tanggung jawab yang lebih besar sebagai perempuan terpilih?
Sri Asih tampak mencoba dengan sangat keras untuk mengangkat kembali atensi masyarakat terhadap Semesta Bumilangit, sejak Gundala tiga tahun lalu. Namun coba kita telaah beberapa bagian eksekusinya, apakah memang sepadan dengan penantian kita selama ini? Apalagi setelah jadwal penayangannya yang sempat mundur beberapa kali. Nyatanya, Sri Asih melahirkan banyak pertanyaan, keanehan, pula ketidaklogisan. Salah satunya adalah aspek yang paling sering bermasalah dalam film-film Indonesia. Apalagi kalau bukan dialog?
Upi, terutama Jokan, jelas sekali banyak merujuk pada film-film barat dalam membuat cerita. Kita bisa lihat itu pada Pengabdi Setan 2: Communion. Bukan dua atau tiga, dialog tidak tepat guna bahkan bertebaran di sepanjang Sri Asih. Aneh rasanya. Padahal dialog bermasalah ini sudah kerap kali ada dalam film-film kita sejak bertahun-tahun lalu. Namun mengapa masih saja berulang, lagi dan lagi? Kedua penulis seakan ingin membuat dialog-dialognya terkesan keren, tetapi yang terdengar justru kebarat-baratan dan tak lekat dengan setting cerita. Tak jarang pula momen-momen yang semestinya lebih baik diserahkan pada pengadeganan, malah muncul dialog di sana. Dan yang paling mengganggu adalah kecenderungan kedua penulis ini untuk memasukkan banyak sekali sindirian eksplisit lewat setiap dialog buatan mereka.
Pun demikian dengan eksekusi adegan-adegan laganya. Berharap mendapatkan pengalaman serupa aksi laga dari Pertaruhan (2017) atau bahkan The Raid? Sayang sekali mungkin kita hanya bakal merasakan asam belaka. Keseruan adu bela diri dengan kontak fisik yang biasa kita peroleh dalam film-film laga khas Indonesia kurang tercapai dengan baik. Kentara sekali perkelahian sang bintang utama Sri Asih, Pevita, melawan musuh-musuhnya dilakukan dalam adegan lambat dan tak benar-benar bertenaga. Baru kemudian editing mengakali semuanya. Meski hampir sebagian besar Sri Asih mempertontonkan perkelahian, tetapi sang titisan Dewi Asih sendiri tampak tak bertenaga setiap kali melayangkan pukulan dan tendangan ke lawan-lawannya.
Audio juga menjadi bagian yang mengganjal dalam Sri Asih. Sang sineas beralasan bahwa kemunduran jawal tayang filmnya hingga beberapa kali kemarin adalah ihwal penggarapan audio. Namun setelah melihat hasil akhirnya pun seperti tak terlalu membaik. Kerap kali terasa jauh dari setiap suara yang muncul dalam film, baik dialog, tembakan, selendang, maupun ledakannya. Seolah suara-suara yang terdengar tidak benar-benar berasal dari peristiwa dalam layar yang disaksikan di depan mata, tetapi jauh dari itu. Dubbing? Bukan tidak mungkin.
Bicara ihwal film manusia super, tentu tak mungkin lepas dari kebutuhan efek visual. Dan film-film kita, hingga hari ini, masih lemah dalam satu aspek teknologi pembuatan film ini. Terlebih efek visual untuk film-film manusia super semacam Sri Asih, Gundala, dan lainnya. Hanya satu eksekusi yang tergarap dengan baik, yakni efek visual pada sosok Jatmiko. Namun, itu pun sudah biasa. Bagus, tetapi sudah biasa dibuat.
Meski dengan serangkaian masalah ini, penampilan Pevita Pearce dalam kostum Sri Asih tetap memesona. Tampaknya salah satu kesenangan yang bisa dinikmati dari film ini adalah auranya sebagai sosok superhero titisan Dewi Asih. Namun upaya aktris yang kerap tampil dalam film drama roman ini jadi kurang tersalurkan dengan maksimal, gara-gara pengadeganan dan koreografi laganya. Sayang. Padahal dia sudah melakukan banyak persiapan demi perannya.
Bermaksud mengangkat kembali semangat lama khalayak sinema superhero nusantara, tetapi Sri Asih masih meninggalkan kesan yang kurang menyenangkan dan seru. Biarpun tanpa membandingkannya dengan Wonder Woman (misalnya), bandingkan saja dengan Gundala dan rasakan perbedaannya yang tidaklah signifikan. Jika saja boleh spoiler, ada lebih banyak lagi keresahan setelah menonton Sri Asih. Ini pun belum membicarakan soal logika dalam beberapa peristiwanya. Namun sebagai sebuah penetralan, film-film kita tentang manusia super –rupanya—belumlah sampai pada ekspektasi pengalaman menonton yang sama tingginya, seperti keseruan yang bisa kita dapatkan seusai menyaksikan film-film garapan dari barat sana.
Bener. Dialog yang sok baku dan sok keren emang gak natural dan terasa cringe. Kenapa para screenwriters gak berenti-berenti buat yang kayak gini?
Bisa jadi karena kurang referensi dan risetnya kurang oke