The Lord of the Rings: The Rings of Power adalah seri non layar lebar yang diproduksi oleh Amazon Studios. Seri ini adalah prekuel dari seri The Hobbits dan The Lord of the Rings yang berlatar ribuan tahun sebelumnya. Film ini diarahkan oleh beberapa sineas secara bergantian tiap episodenya, yakni J.A. Bayona, Wayne Che Yip, dan Charlotte Brändström. Musim pertama seri ini memiliki total 8 episode berdurasi rata-rata sekitar 68 menit. Bermain dalam seri ini, antara lain Morfydd Clark, Robert Aramayo, Ismael Cruz Córdova, Daniel Weyman, Lloyd Owen, Markela Kavenagh, dan Maxim Baldry. Apakah seri prekuel ini setidaknya mampu selevel dengan film layar lebarnya yang memiliki pencapaian fantastis?
“The sea is always right!”
Kisahnya mengambil cerita pada era Second Age, di mana Sauron mulai membangun kekuatan dan pasukannya, lalu kisah beberapa tokoh penting pihak elf, manusia, dwarf, dan penyihir. Singkatnya, plot film ini adalah latar belakang tokoh-tokoh yang sudah kita tahu di film-film sebelumnya, seperti Galadriel, Elrond, Sauron, Isildur, serta pula origin Mordor, yang kelak menjadi benteng utama pihak kegelapan. Memang terlalu panjang dan kompleks jika kisahnya dituliskan di sini karena satu episode saja sudah terhitung lama durasinya untuk sebuah seri.
Dua seri awal yang bertempo cepat dan dinamis, lalu kisahnya mulai melambat sejak episode 3. Namun menjelang klimaks di episode akhir, lambat laun kisahnya semakin intens. Sepanjang serinya, plotnya mencoba sekuat tenaga merahasiakan dua tokoh kunci, Sauron dan The Stranger. Di luar sana, fansnya hanya bisa menebak-nebak dengan segala macam teori. Kejutan terbesar di akhir episode, terbayar sudah dengan memuaskan.
Masing-masing subplotnya memiliki nuansa khas dari berbagai status sosial dari kaumnya. Di atas segalanya, menjadi pusat cerita adalah sosok Galadriel. Ia berdiri terpisah dengan lainnya, melalui sikapnya yang keras, tegas, dan dingin sepanjang cerita. Beda dengan sosok Galadriel yang bijak seperti kita kenal dalam trilogi The Lord of the Rings silam. Hubungan Elrond dan Durin adalah satu-satunya tokoh beda kaum dengan ikatan paling kuat. Lalu rakyat Numenor yang begitu tinggi hati dengan kejayaan kerajaan mereka yang di bawah pimpinan ratu Miriel. Lalu ada roman sampingan antara Arondir (elf) dan Bronwyn di tengah konflik desa mereka dengan kaum penindas, orc. Namun yang paling menyentuh dan hangat adalah hubungan Nori (kaum harfoot) dengan laki-laki berjenggot tanpa identitas yang memiliki kekuatan supernatural besar.
Seperti seri terdahulu, kekuatan terbesar film ini adalah aspek mise_en_scene, khususnya setting. Kita diajak berpetualang di beberapa negeri yang belum penah kita temui sebelumnya. Tercatat, paling menonjol adalah kerajaan Numenor yang luar biasa megah. Nyaris seperti seri bioskopnya, setting-nya dibuat tidak main-main, tentunya dengan dukungan rekayasa digital di sana-sini. Namun setting interiornya disajikan sungguhan dengan detail yang mengagumkan. Termasuk pula adalah istana di balik gunung, Khazad-dûm, kerajaan besar milik kaum dwarf. Semua aspeknya, baik properti maupun kostum dirancang dengan begitu detil. Semua ini, termasuk panorama alamnya, ditangkap begitu indah melalui sisi sinematografi yang menawan. Lalu last but not least adalah ilustrasi musik yang digarap Howard Shore yang juga menggarap score enam film sebelumnya. Kontinuitas musiknya terjaga betul nuansanya hingga serasa terdapat benah merah panjang dengan seri-seri sebelumnya.
Seperti versi teaternya, The Lord of the Rings: The Rings of Power adalah seri prekuel yang memesona dengan kekuatan mise_en_scene, sinematografi, dan musik, sekalipun kisahnya terlalu lambat di beberapa segmen. Satu kelemahan terbesar seri ini adalah kisahnya yang masih berlanjut dengan penantian yang sangat lama. Konon, kisahnya akan diproduksi total 5 musim, dan tercatat musim kedua pun baru akan tayang dua tahun lagi. Jika dihitung-hitung, maka setidaknya butuh waktu 8 tahun lagi untuk menamatkan seri ini. Apakah kalian sesabar itu?