Bicara ihwal horor mistis dan supernatural dengan ilmu hitam dan aliran sesat sudah jadi tema pasaran di antara banyak sekali film horor Indonesia. Begitu pula Jin Qorin arahan Ubay Fox dengan Piu Syarif sebagai penulisnya. Melalui produksi White Collar Pictures dan Black Horse Pictures, para pemainnya yaitu Marthino Lio, Tyara Vanesha, Kanaya Gleadys, Rama Michael, dan Annisa Hasim. Ubay Fox masihlah pendatang baru di antara sutradara film horor lainnya, karena baru muncul enam tahun lalu (2017). Begitu pula penulisnya yang baru kali ini menggarap naskah film horor. Lantas, bagaimana hasilnya?
Seno (Lio) tampak seperti keluarga bahagia dengan seorang istri, Alya (Tyara), dan putrinya, Reva (Kanaya). Ia juga punya posisi penting di perusahaan tempat kerja kakak iparnya, Abdi (Rama). Namun, Seno terlampau tegas dan mudah memecat pegawai tanpa mau mendengar penjelasan apa pun. Temperamennya kerap tidak disukai oleh para pegawai. Kecuali atasannya, Wina (Annisa), yang terus mencari kesempatan untuk mendekatinya. Sampai Wina dan Abdi pun menemukan kejanggalan terkait keberadaan Alya dan Reva, yang berhubungan dengan latar belakang Seno sebenarnya.
Naskah Jin Qorin benar-benar hancur sampai tak bisa dinikmati sama sekali. Terdapat amat banyak lubang plot dan plot-plot paksaan yang sukar ditoleransi dalam Jin Qorin. Dari sekian banyak film horor tentang jin, qorin, ilmu hitam, kutukan, atau aliran sesat yang selama ini telah tayang, Jin Qorin adalah salah satu yang terburuk. Hidayah, Perjanjian Gaib, dan Kutuk bahkan masih lebih baik ketimbang film ini. Belum lagi soal pemilihan latar waktu tahun 1990 yang tak ada hubungannya dengan cerita. Semata agar bisa menyesuaikan dengan kondisi pabrik dan mesin-mesin tua di sana.
Latar belakang dan motif dari setiap arwah yang menghantui rumah tangga Seno tak terjelaskan sampai film usai. Apa tujuan Wina meminta tolong dukun untuk melakukan pelet darah? Pada akhirnya dia tidak meletakkan alat peletnya sesuai arahan sang dukun, dan justru tertarik untuk membongkar rahasia Seno. Di mana lokasi Seno menyembunyikan istri dan putrinya? Kita hanya bisa menerka bahwa mungkin tempat tersebut dekat dengan rumahnya, karena sineas tidak pernah memperlihatkan letaknya. Masih ada pelbagai pertanyaan lagi selain semua ini, karena logika cerita Jin Qorin yang semrawut. Belum soal detail-detail kecilnya.
Martino Lio pun tidak bisa menampilkan performa terbaiknya gara-gara masalah naskah. Kasus yang tak sekali dua kali ini terjadi, saat seorang aktor/aktris bertalenta jadi bulan-bulanan naskah. Jailangkung: Sandekala dan Mumun misalnya. Para pemain lain dalam film ini juga tak beda jauh.
Aspek sinematik Jin Qorin juga sangat bermasalah. Efek suaranya terlalu berlebihan. Bahkan sejak film dimulai, kita sudah dibuat tak nyaman karena suaranya. Bukan tak nyaman dalam artian untuk mendukung film horor, tetapi benar-benar tak bisa dinikmati secara filmis. Frekuensi suaranya terlalu besar dan pecah hingga melewati batasan kenyamanan.
Gambar-gambarnya pun demikian. Jin Qorin menggunakan cukup banyak drone shot, tetapi semuanya dieksekusi dengan kasar. Bahkan keberadaan Alya dan Reva yang disembunyikan oleh Seno terbongkar ke penonton gara-gara sudut pengambilan gambar yang keliru. Alhasil, momen Abdi akhirnya menemukan adik dan keponakannya jadi tak mengejutkan. Toh penonton sudah tahu mereka berdua memang ditempatkan di sana.
Begitu pula dengan editing. Banyak sekali transisi yang memperparah kerusakan naskah Jin Qorin. Perpindahan satu scene ke scene berikutnya kerap kali tak mulus. Walhasil, rangkaian cerita Jin Qorin layaknya cuplikan-cuplikan belaka yang melompat-lompat dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Apa gunanya memasukkan establish pemandangan pantai? Tidak adakah cara yang lebih baik dalam menampilkan kilas balik?
Jin Qorin punya banyak masalah serius, baik dari naskah maupun estetiknya. Kali terakhir film horor bisa separah ini adalah The Secret 2: Mystery of Villa 666 yang hanya mengandalkan jumpscare penampakan hantu belaka. Bila melihat rekam jejak sang sineas, belum ada satu pun film horor garapannya yang berhasil. Saking parahnya sampai-sampai audionya juga tak diperhatikan.