Viking Wolf

Masih membekas dalam ingatan, film werewolf berkualitas, yakni The Cursed (2021) dan Werewolf by Night (2022) yang rilis belum lama ini. Kali ini, film bertema werewolf datang dari negeri Skandinavia. Viking Wolf adalah film produksi Norwegia yang digarap oleh Stig Svendsen. Film ini dibintangi Liv Mjönes, Elli Rhiannon Müller Osborne, serta Arthur Hakalahti. Film ini baru saja dirilis minggu lalu oleh platform Netflix. Apakah Viking Wolf mampu menawarkan sesuatu yang baru?

Seorang polisi, Liv (Mjönes) dan putrinya, Thale (Osborne) pindah ke kota kecil di Norwegia, sepeninggal suaminya. Liv kini tinggal bersama suami barunya dan putrinya yang tuna rungu, Jenny. Thale pun enggan pindah sehingga relasi dengan sang ibu terasa berjarak. Ketika bermain di hutan bersama rekan-rekan sekolahnya, Thale terlibat dalam satu insiden maut. Seekor binatang buas menewaskan rekan satu sekolahnya. Penyelidikan lanjutan memberi informasi bahwa penyebabnya adalah seekor serigala buas dan polisi pun tak lama memburunya. Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka hadapi ternyata bukan serigala biasa. Sementara Thale yang rupanya tergigit, mulai menunjukkan gejala delusional yang tak lazim.

Filmnya dibuka dengan amat meyakinkan melalui segmen montage yang menyajikan mitos lokal tentang serigala dari neraka. Plot utamanya yang mengambil latar waktu ratusan tahun setelahnya, dibuka melalui setting eksotis dan sisi sinematografi yang menawan. Dua aspek ini saja sudah mampu membuat kita betah menonton. Alam pegunungan tinggi, hutan, dan pantai yang khas memang menjadi aset terbesar film-film yang diproduksi negara ini, sebut saja The Wave (2015) hingga The Quake (2018). Viking Wolf pun mampu memanfaatkan potensi ini dengan maksimal.

Bicara naskah, kisahnya memang tak lagi segar. Nyaris sepanjang cerita, plotnya banyak mengingatkan pada Jaws (1975) arahan Steven Spielberg. Bahkan satu dialog tentang ukuran gigi taring sang hewan buas pun terasa senada. Bagi yang sudah pernah menonton film hiu klasik tersebut, pasti bisa merasakannya dengan gamblang walau skala kisahnya tak semegah Jaws. Viking Wolf terasa sepi dengan investigasi dan perburuan yang hanya melibatkan segelintir orang. Sisi misteri dan aksi seru pada segmen klimaks pun juga terasa kurang menggigit. Hubungan Thale dengan ayah dan adik tirinya kurang dieksplorasi lebih dalam. Namun hubungan antara sang ibu dan putrinya adalah yang menjadi poin terbesar di sini.

Baca Juga  Max Payne

Melalui setting dan sinematografi menawan, Viking Wolf mencoba memadukan sisi fantasi dan horor dengan menyelipkan tema keluarga. Satu hal menarik adalah bagaimana konflik cerita utamanya adalah merupakan subteks dari problem antara Lin dan Thale. Poin ini mirip dengan kisah Everything Everywhere All at Once walau dikemas jauh berbeda. Thale yang tidak pernah merasa dianggap oleh sang ibu, akhirnya bertindak bak “serigala liar”. Ini memang sebuah kejutan tak terduga walau ending-nya masih ambigu. Benarkah sang ibu tega menyakiti putrinya? Apa pun jawabnya, Viking Wolf telah melakukan satu usaha bagus dengan cara berkelas. Jika saja, sisi drama (ibu dan putrinya) dieksplorasi lebih dalam, rasanya film ini bisa memberi kejutan besar.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaScandal Makers
Artikel BerikutnyaJunji Ito Maniac: Japanese Tales of the Macabre
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.